Minggu, 23 Januari 2011

Investasi Rumah Di Batam Bagi TKI / TKW / BMI / Buruh Migran / Pahlawan Devisa Indonesia Di Luar Negeri



Investasi Rumah Di Batam Bagi TKI / TKW / BMI / Buruh Migran / Pahlawan Devisa Indonesia Di Luar Negeri

Solusi nyata untuk mewujudkan impian Anda sebagai seorang buruh migrant yang bekerja keras membanting tulang di negeri orang untuk memiliki sebuah rumah impian di kota Metropolis Batam yang terus bergeliat dalam pembangunan dan berkembang pesat, karena berdekatan & bertetangga dekat dengan Negara Singapura dan Malaysia.

Sebagai daerah yang sedang membangun, kebutuhan akan property di Batam cukup tinggi. Kami siap menjalin kerjasama saling menguntungkan terutama bagi tenaga kerja migran / TKI / TKW yang ingin memiliki perumahan menengah ke bawah di Batam.

Kami memberikan penawaran rumah dengan harga terjangkau Maximum Rp 50 Juta (Harga sudah termasuk bea balik nama, biaya notaris, pajak, dll).

Dengan Konsep Kekeluargaan - Saling Percaya, Property Atas Nama Pembeli & Sertifikat Asli Dikirim Ke Alamat Pembeli.

Selanjutnya sebelum rumah Anda tempati, rumah dapat kami kelola untuk disewakan / dikontrakkan sehingga rumah yang belum Anda tempati tersebut dapat menghasilkan uang, biasanya per-bulan bisa laku dengan harga sewa sekitar Rp 300 ribu sampai dengan Rp 500 ribu per-bulan tergantung lokasinya (dikurangi biaya pengelolaan rumah sebesar Rp 100 ribu per-bulan jika ada yang sewa – saat tidak ada yang sewa tidak akan dikenakan biaya pengelolaan rumah)

Penawaran khusus ini hanya untuk TKI / TKW / BMI / Buruh Migrant / Pekerja Migrant / Pahlawan Devisa Indonesia yang bekerja di Luar Negeri seperti di Hongkong, Macau, Korea, Arab Saudi, Brunei Darussalam, Singapore, Malaysia, dll.

Hubungi : Momon Property Services
Komplek Sagulung Mas Indah Blok A No.22 Batu Aji - Batam
Hp 08566559633 / 081372150633 Fax 0778-391515

http://migran-care.blogspot.com/

http://agensi-batam.blogspot.com/
http://momoncomputer.blogspot.com/
http://masjidbatam.blogspot.com/
http://pantiasuhanbatam.blogspot.com/
http://tralisbatam.blogspot.com/
http://landscapingbatam.blogspot.com/
http://kontraktorbatam.blogspot.com/
http://acbatam.blogspot.com/
http://gensetbatam.blogspot.com/
http://konsultanbatam.blogspot.com/
http://website-batam.blogspot.com/
http://sedotinja.blogspot.com/

Tki, tkw, bmi, migrant, migran, buruh, pekerja, papan, rumah, perumahan, property, properti, realty, batam, arab, korea, hongkong, Malaysia, Indonesia

Presiden Ingatkan TKI Jangan Lupa Menabung



Presiden Ingatkan TKI Jangan Lupa Menabung


Rabu, 15 Desember 2010, 12:35 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta warga negara Indonesia yang hendak bekerja di luar negeri untuk bisa menyisihkan sebagian pendapatannya guna disimpan sebagai modal untuk pengembangan usaha setelah selesai menjadi TKI.

Hal tersebut dikemukakan Presiden saat berdialog dengan tiga warga negara Indonesia yang hendak bekerja di luar negeri di sela-sela peluncuran program kredit usaha rakyat untuk TKI di Surabaya, Rabu (15/12).

Ketiga warga Indonesia tersebut masing-masing Nursanti asal Jawa Barat, Muhammad Nasib asal Nusa Tenggara Barat dan Kausar asal Malang Jawa Timur yang berdialog dengan Presiden melalui jalur telekonferensi. "Saya minta agar sebagian gajinya bisa ditabung sehingga nanti bisa dijadikan modal," kata Presiden kepada Kausar.

Kausar lulusan Universitas Islam Malang akan bekerja di sektor formal mengelola peternakan sapi perah di New Zealand dengan gaji setara Rp30 juta per bulan. Kausar bersama empat rekannya akan berangkat bekerja di sebuah peternakan sapi perah menyusul sembilan WNI yang sudah bekerja di sektor yang sama di New Zealand sejak dua tahun lalu.

Sementara itu kepada Nursanti, asal Jabar yang akan kembali ke Hongkong, Presiden menegaskan agar bekerja dengan baik. "Saya bekerja selama delapan tahun di Hongkong dan Taiwan, selama itu sudah tiga majikan berbeda saya bekerja," kata perempuan yang menguasai bahasa Inggris dan Kanton itu.

Nursanti mengatakan, meski ia menyukai bekerja di Hongkong namun ia tetap bangga sebagai warga Indonesia. "I like Hongkong but I love Indonesia," tegasnya.

Sedangkan Muhammad Nasib yang akan bekerja di perkebunan Kelapa Sawit di Malaysia Barat, menyatakan sudah mendapat pelatihan dan memahami hak dan kewajibannya sehingga bisa terhindar dari tindakan sewenang-wenang.

"Saya sudah mempertimbangkan dengan keluarga dan mendapat pelatihan mengenai hak dan kewajiban saya," tegasnya.

Muhammad Nasib sebelumnya pernah bekerja di perkebunan sawit juga dan ia mengaku sudah mampu membeli sebidang tanah dan hewan ternak untuk modalnya kelak. Ketiga WNI yang akan bekerja di luar negeri itu menyatakan bahwa kredit usaha rakyat bagi TKI berupa pinjaman untuk pengurusan keberangkatan ke luar negeri sangat membantu terutama menghindarkan mereka dari belitan hutang rentenir.

Dalam telekonferensi itu, Kepala Negara juga mendapat laporan mengenai perkembangan kredit usaha rakyat (KUR) dan pengelolaan TKI dari Gubernur Jabar, Gubernur NTB dan Wali Kota Malang. Pada Rabu (15/12) siang, Presiden, Ibu Negara dan rombongan dijadwalkan bertolak menuju Semarang untuk kunjungan kerja selama dua hari hingga Kamis (16/12) di Jawa Tengah.

Red: Djibril Muhammad

Sumber: antara
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/15/152450-presiden-ingatkan-tki-jangan-lupa-menabung

Pembinaan Berkesinambungan bagi TKI di Hong Kong
Selasa, 31 Agustus 2010
Dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas warga Indonesia, Konsulat Jenderal RI di Hong Kong (KJRI Hong Kong) kembali menyelenggarakan program pembinaan bagi warga Indonesia, khususnya para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong. Dua acara yang berbeda, namun tetap dalam nafas yang sama yaitu Kursus Kecantikan Angkatan Kedua dan Penyuluhan Kewirausahaan bagi TKI di Hong Kong di Ruang Ramayana, Gedung KJRI Hong Kong, Causeway Bay (29/8).

Hadir pada kedua acara tersebut para pimpinan lembaga Farida Professional Academy of Aesthetics, tempat di mana kursus kecantikan berlangsung, Ketua dan anggota Asosiasi Pengerah TKI di Hong Kong (APPIH), Direktur Perluasan Kesempatan Kerja, Kemenakertrans, wakil dari Universitas Ciputra serta staf KJRI Hong Kong.

Kursus Kecantikan angkatan kedua berlangsung selama 2 bulan sejak Mei 2010 dan diikuti 30 orang TKI yang telah melalui proses seleksi. Pelatihan tanpa biaya ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan dan peningkatan diri bagi TKI di Hong Kong yang tidak harus kembali ke Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Seperti halnya angkatan pertama, para peserta belajar tata rias wajah dan mengikuti kursus serta mendapatkan sertifikat kelulusan.

Sementara itu, lokakarya kewirausahaan yang diselenggarakan di tempat yang sama, diikuti oleh lebih dari 100 TKI. Dalam sambutan pembukanya, Konsul Jenderal RI, Ferry Adamhar, menyampaikan bahwa program ini diharapkan dapat menjadi bentuk transfer pengetahuan sehingga sekembalinya ke tanah air para TKI tidak hanya membawa bekal uang dari hasil kerja mereka, tapi yang lebih penting membawa bekal ilmu dan keterampilan yang dapat mengembangkan diri dan keluarga mereka.

Senada dengan Konsul Jenderal RI, Direktur Perluasan Kesempatan Kerja, Kemenakertrans, menyampaikan bahwa para TKI pada dasarnya memiliki potensi untuk menjadi seorang wirausaha yang handal, yaitu keberanian mengambil risiko serta motivasi yang kuat untuk maju. Para TKI perlu didorong dan diberi pengetahuan yang memadai untuk bagaimana menjadi wirausaha yang tidak hanya memberi pekerjaan bagi dirinya sendiri, namun juga membuka peluang kerja bagi orang lain. Hal ini berarti turut memberi kontribusi lebih besar bagi pembangunan bangsa dan negara mengingat masih tingginya angka pengangguran, bahkan yang menyandang gelar sarjana sekalipun.

Program penyuluhan kewirausahaan merupakan kerjasama KJRI Hong Kong dengan Universitas Ciputra. Program serupa juga telah diselenggarakan pada 4 Juli 2010 lalu.

Kegiatan ini merupakan bagian dari During-Stay Program KJRI Hong Kong yaitu program pembinaan bagi warga Indonesia, khususnya para TKI untuk menambah keterampilan dan pengetahuan mereka. During-Stay Program sendiri merupakan bagian dari rangkaian pembinaan berkelanjutan, yaitu Welcoming Program, yaitu program orientasi tentang pelayanan KJRI serta bagaimana tinggal dan bekerja di Hong Kong bagi para TKI yang baru datang—dan Exit Program, yaitu program pembekalan bagi para TKI yang akan pulang ke Indonesia, antara lain persiapan psikologis dan pengelolaan uang. (sumber: KJRI Hongkong)

Sumber : http://www.deplu.go.id/london/Pages/News.aspx?IDP=3913&l=id


Citra Pelayanan Prima untuk Pelayanan Warga di Hong Kong dan Fasilitas Diplomatik
Rabu, 15 Desember 2010
Atas dedikasinya memberikan pelayanan yang berkualitas kepada Masyarakat, KJRI Hongkong dan Direktorat Fasilitas Diplomatik Kemlu dianugerahi penghargaan Citra Pelayanan Prima. KJRI menerima Piala Citra Pelayanan Prima yang diserahkan oleh Wakil Presiden RI, Boediono kepada Konsul Jenderal RI di Hongkong. Sementara, Direktur Fasdip menerima penghargaan Piagam Madya Citra Pelayanan Prima dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, E.E. Mangindaan. Kedua penghargaan tersebut diserahkan di Istana Wapres, hari ini (15/12).

Penghargaan ini diberikan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terhadap Unit Pelayanan Publik (UPP) dari Kementerian/Lembaga/BUMN dan Pemerintah Daerah dalam rangka mendorong peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Penilaian kinerja terhadap pelayanan publik ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali sejak tahun 1995.

Pada acara penganugerahan tahun 2010, penghargaan Piala Citra Pelayanan Prima diberikan kepada 83 Unit Pelayanan Publik (UPP). Sedangkan penghargaan Piagam Citra Pelayanan Prima diberikan kepada 121 Unit Pelayanan Publik yang terbagi atas 48 UPP penerima Piagam Pratama Citra Pelayanan Prima dan 73 UPP penerima Piagam Madya Citra Pelayanan Prima.
Keberhasilan KJRI Hong Kong tidak terlepas dari upaya benah diri untuk mewujudkan visi sebagai ‘rumah yang ramah’ bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Dengan bermotokan “Pelayanan Berbasis Perlindungan”, KJRI Hong Kong telah menerapkan budaya kerja (corporate culture) yang berpijak pada semangat kepedulian dan keberpihakan dengan mensinergikan seluruh fungsi di Perwakilan RI dalam mendukung kegiatan pelayanan publik dan perlindungan WNI.
Salah satu langkah inovatif KJRI Hong Hong, sejak bulan September 2007 telah mengimplementasikan program pelayanan berbasis perlindungan yang lebih komprehensif, sistematis, dan terencana dengan nama welcoming program, during stay program, dan exit program. Pada bulan Desember 2009, KJRI Hong Kong juga telah berhasil memperoleh sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008.
Direktorat Fasilitas Diplomatik merupakan salah satu unit pelayanan di Kementerian Luar Negeri yang memberikan pelayanan terhadap 224 perwakilan diplomatik asing dan organisasi internasional dengan jumlah staf sekitar 1.273 orang yang tersebar di 14 kota di tanah air.

Pelayanan Direktorat Fasilitas Diplomatik merupakan pelaksanaan dari Konvensi Wina tahun 1961 dan Konvensi Wina tahun 1963 dimana negara penerima (Pemerintah RI) berkewajiban menjamin kelancaran kerja kantor perwakilan asing dalam melaksanakan misinya di Indonesia dengan memberikan fasilitas dan kemudahan. Pada bulan Desember 2010, Direktorat Fasilitas Diplomatik juga sedang dalam proses untuk memperoleh sertifikat ISO 9001:2008.
Kementerian Luar Negeri ikut serta pertama kali pada penghargaan ini pada tahun 2008 dimana KBRI Kuala Lumpur dan KBRI Singapura berhasil memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima, sedangkan Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia mendapatkan Piagam Citra Pelayanan Prima. Selain itu penghargaan Piagam Citra Pelopor Inovasi Pelayanan Prima juga diberikan kepada Duta Besar RI Singapura (untuk Kelompok Kebijakan) dan Wakil Kepala Perwakilan RI KBRI Kuala Lumpur (untuk Kelompok Operasional).

Sumber : http://www.deplu.go.id/london/Pages/News.aspx?IDP=4268&l=id

Menlu RI : Diplomat Agar Terus Bekerja Penuh Komitmen dan Selalu Hands On
Rabu, 15 Desember 2010

Dalam kegiatan diplomasi, aspek SDM adalah hal yang terpenting selain sarana dan fasilitas yang dimiliki. Oleh karena itu Pimpinan Kemlu akan terus mendukung peningkatan dan penyempurnaan yang dilakukan Pusdiklat sebagai center of excellence untuk mendidik para diplomat kita.

Hal tersebut ditegaskan Menlu dalam acara penutupan Diklat Terpadu Sesparlu Angkatan 43 – PIM II Angkatan 29 dan Diklat Terpadu Sesdilu 45 – PIM III Angkatan 15, pada hari Selasa, 14 Desember 2010. Dalam acara yang dilaksanakan di Gedung Pancasila tersebut, Menlu juga mendorong para diplomat untuk terus bekerja dengan penuh komitmen, harus selalu hands on, dan tetap prima meskipun bekerja under pressure.

Sementara itu, Kepala LAN, Asmawi Rewansyah, dalam sambutannya antara lain menyinggung bahwa seorang pemimpin hendaknya dapat berperan sebagai guru (memiliki sifat-sifat yang patut diteladani), sebagai bapak (tidak hanya menyalahkan anak buahnya), dan sebagai teman (tempat berkeluh kesah)

Selain dihadiri oleh Kepala LAN, acara penutupan tersebut juga dihadiri oleh para Eselon I dan II Kemlu dan LAN, disamping 21 peserta Sesparlu dan 32 peserta Sesdilu. Acara diakhiri dengan pemberian ucapan selamat dan foto bersama.

Sumber : http://www.deplu.go.id/london/Pages/News.aspx?IDP=4266&l=id


Presiden, president, tki, tkw, bmi, buruh, migrant, migran, Indonesia, hongkong, korea, babu, pembantu rumah tangga, prt, perawat, pekerja, tabungan

Sikap Pemerintah Terhadap Buruh Migran





Sikap Pemerintah Terhadap Buruh Migran

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pelaku penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia, Winfaidah, dan dihukum setimpal sesuai dengan yang berlaku di Malaysia . Hal itu diungkapkan Presiden terkait penganiayaan yang dilakukan kepada salah satu pekerja migrant asal Indonesia, Winfaidah . Juru Bicara Presiden, Julian Pasha mengatakan, Presiden menginstruksikan kepada Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'I Bachtiar untuk mengawal proses hukumnya . Julian menambahkan, pemerintah mendapatkan kronologis langsung dari Winfaidah . Julian menjelaskan, Presiden menyampaikan bahwa setiap hal yang menimpa TKI tidak akan diabaikan oleh pemerintah . Selain itu, pemerintah juga akan menanggung seluruh biaya pengobatan Winfaidah .

Sikap Pemerintah tersebut merupakan bentuk komitmen perlindungan terhadap buruh migrant Indonesia yang bekerja diluar negeri . Winfaidah diduga menjadi salah satu korban perdagangan manusia . Hal itu dikarenakan, dokumen-dokumen resmi Winfaidah tidak lengkap dan resmi .
Menyikapi hal tersebut, Komisi Nasional Perempuan menyatakan, kasus Winfaidah merupakan akumulasi dari kasus-kasus penganiayaan terhadap pekerja migrant . Demikian pula kasus ancaman hukuman mati yang dihadapi oleh empat perempuan dari ratusan pekerja Indonesia yang juga menghadapi ancaman hukuman serupa .

Hasil pemantauan Komisi Nasional Perempuan, bersama dengan Komnas HAM menunjukkan bahwa, pertama Malaysia merupakan Negara terbanyak penerima pekerja migrant asal Indonesia yang mencapai 1,2 juta jiwa . Data tersebut belum termasuk jumlah pekerja migrant yang tidak berdokumen (illegal) yang diperkirakan jumlahnya dua kali lipatnya .

Kedua, jumlahh pekerja migrant yang dideportasi dari Malaysia pada tahun 2009 mencapai lebih dari 33 ribu jiwa / Hal itu berarti ada lebih dari dua ribu TKI Indonesia yang dideportasi perbulan .Ketiga, lebih dari seribu pekerja migrant Indonesia yang harus berhadapan dengan hukum setiap tahunnya, 60 persen diantaranya terkait gaji tidak dibayar, 20 persen kasus kekerasan seksual dan 5 persen kasus perdagangan manusia .

Selain kasus tersebut, Komnas Perempuan mencatat berbagai persoalan pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan pekerja migrant, dipaksa bekerja tanpa waktu istirahat, bekerja dari lebih satu majikan tanpa upah yang layak, tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang lain selain majikannya, tidak mendapat libur, dan lain sebagainya .

Dalam hal kekerasan, perempuan pekerja migrant berhadapan dengan penganiayaan secara fisik, secara verbal dalam bentuk caci maki, hinaan dan intimidasi, dan juga secara seksual, khususnya perkosaan . Untuk itu, Isyarat penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia oleh Pemerintah yang di lontarkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyusul tragedi Winfaidah, sangat tepat selain kembali merumuskan formula yang tepat agar hak dan kewajiban para pekerja Indonesia agar dapat sejajar dengan para pekerja migran asal negara lain yang juga banyak terdapat di Malaysia. Fks-Mky(27/9)fks

Sumber : http://id.voi.co.id/fitur/voi-bunga-rampai/6112-sikap-pemerintah-terhadap-buruh-migran.html


Konferensi Pers “Ratifikasi Konvensi Buruh Migran” Perlindungan Pekerja Migran Belum Menjadi Prioritas Pemerintah Indonesia
________________________________________
19 June 2009 | Kategori: Aktual, Berita, Berita Jaringan, Galeri, Ragam
________________________________________

Persoalan kekerasan yang menimpa buruh migran Indonesia seolah menjadi persoalan tidak berujung. Beberapa waktu yang lalu Indonesia digegerkan kembali dengan kasus kekerasan yang menimpa pekerja perempuan asal Garut, Jawa Barat , Siti Hajar. Tidak berselang lama kasus serupa kembali terulang. Kali ini menimpa Sumasri. Kedua pekerja migran tersebut bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Tentu saja mereka hanya sebagian kecil buruh migran Indonesia yang mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikan.

Data BNP2TKI yang dihimpun dari Gedung Pendataan Kepulangan Selapajang atau lebih dikenal dengan terminal IV pada tahun 2008 menunjukkan terjadi 45.250 kasus pelanggaran dan kekerasan yang dilaporkan. Sebanyak 18.789 merupakan pemutusan kerja sepihak, 8.742 karena sakit akibat kerja 8.742 dan 1.889 adalah pelecehan seksual.
Minimnya upaya perlindungan terhadap pekerja migran yang diberikan Pemerintah Indonesia menjadi faktor dominan kerap terjadinya kekerasan terhadap mereka. Padahal para pekerja migran ini setiap tahun menyumbang devisa terbesar setelah migas yakni 82,4 triliun. Hal ini disampaikan oleh Resta dari LBH Jakarta dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Tim Advokasi Ratifikasi Pekerja Migran di kantor LBH Jakarta, 18 Juni 2009. Namun, jasa dari pahlawan devisa ini tidak membuat Pemerintah Indonesia segera melakukan tindakan serius demi melindungi mereka dari beragam pelanggaran dan kekerasan. Terbukti, Pemerintah Indonesia lebih memilih menyelesaikan masalah pekerja migran dengan cara sporadis yakni menangani kasus perkasus daripada menyelesaikan berdasarkan akar persoalan masalah, lanjut Resta.

Cara penyelesain seperti ini menurut Taufik dari Solidaritas Perempuan karena Pemerintah Indonesia masih melihat pekerja migran bukan sebagai entitas manusia yang memiliki hak-hak yang harus dilindungi namun, lebih sebagai entitas ekonomi. Akibatnya, seluruh kebijakan yang dibuat Pemerintah jauh dari upaya perlindungan pekerja migran. Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, merupakan satu-satunya instrumen HAM yang kini dimiliki Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Sayangnya, dari 109 pasal yang ada dalam UU tersebut tidak lebih dari 8 pasal yang memuat tentang perlindungan.

Tidak bisa ditawar lagi, sisa kepemimpinan SBY-JK yang tinggal enam bulan ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengupayakan penyelesaian masalah pekerja migran secara lebih komprehensif. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkrit untuk menyelesaikan persoalan pekerja migran dengan cara yang lebih sistematis.
Meratifikasi Konvensi Internasional 1990 tentang hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya, bisa menjadi salah satu cara melakukan tindakan kongkrit tersebut, imbuh Taufik. Konvensi ini sangatlah penting karena memberikan standar perlindungan yang layak bagi pekerja migran dan keluarganya.

Menurut Resta, jika Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ini, Indonesia mempunyai kredit poin untuk memapankan peran kepemimpinannya di level internasional dalam hal penegakan standar HAM internasional. Pemerintah Indonesia dengan demikian mempunyai bargaining position yang kuat untuk bekerja sama dengan pemerintah negara-negara tujuan pekerja migran gan menggunakan standar HAM internasional. Masyarakat internasional juga akan memberikan kontrol terhadap pelaksanaan Konvensi ini karena Pemerintah Indonesia akan mempunyai kesempatan melaporkan berbagai pelanggaran ke Komite mengenai kondisi pekerja migran yang buruk di negara-negara penerima seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura dan sebagainya. Yang terpenting, dengan meratifikasi Konvensi ini, seluruh kebijakan tentang pekerja migran harus merujuk standar perlindungan yang tercantum konvensi ini.
Pemerintah Indonesia sebetulnya telah menandatangani Konvensi Internasional Buruh Migran 1990 dan telah dimandatkan dua kali dalam RAN HAM 1998-2003 dan 2004-2009 untuk diratifikasi. Tahun 2005, seharusnya Konvensi telah diratifikasi namun hingga pertengahan tahun 2009 ini tidak juga ada upaya untuk meratifikasinya. Karenanya, Tim Advokasi Ratifikasi Konvensi Buruh Migran yang terdiri dari 20 lembaga yang bergerak dalam isu HAM dan perlindungan buruh migran, didukung oleh Komnas Perempuan, mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya demi hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. (Nunung Qomariyah)
Sumber : http://www.komnasperempuan.or.id/2009/06/konferensi-pers-%E2%80%9Cratifikasi-konvensi-buruh-migran%E2%80%9D-perlindungan-pekerja-migran-belum-menjadi-prioritas-pemerintah-indonesia/


Pentingnya Perlindungan Buruh Migran
05/08/2009

Masalah perlindungan bagi buruh migran itu sangat kompleks. Mulai dari pra- penempatan sampai purna penempatan. Sebagian besar masalah justru di dalam negeri sendiri, misalnya administrasi kependudukan, pengurusan dokumen, dan lain sebagainya.
Demikian disampaikan oleh Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas, Dra. Rahma Iryanti, MT dalam diskusi lanjutan, Rabu, 05/08 di ruang SG-4. Dihadiri oleh organisasi nonpemerintah antara lain, Serikat Buruh Migran Indonesia, Komnas Perempuan, Peneliti, Institut For Ecosoc, dan LSM pemerhati buruh migran, serta staf Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan kerja.

Miftah Farid, mantan buruh migran mengungkapkan, masih banyak buruh migran tidak mendapatkan haknya, juga lemahnya penanganan kasus, kurangnya akses terhadap bantuan hukum serta belum adanya MoU bilateral dengan negara penempatan. Hal ini juga diungkapkan oleh Albertus B. Buntoro perwakilan dari Institut For Ecosoc. Diharapkan pemerintahan mendatang merumuskan kebijakan yang membantu TKI di luar negeri, khususnya masalah perlindungan.

“Sudah saatnya semua pihak yang terkait dalam penanganan permasalahan buruh luar negeri saling berkontribusi dalam merumuskan kebijakan. Dengan mengakumulasi semua potensi secara maksimal, akan menjadi landasan yang kokoh bagi proses pembenahan permasalahan buruh migran Indonesia. Masukan ini memberikan alternatif langkah kebijakan yang akan dituangkan dalam RPJMN 2010-2014 khususnya bidang tenaga kerja luar negeri”, tambah Bu Yanti. (Humas)
Sumber : http://www.bappenas.go.id/node/116/1984/pentingnya-perlindungan-buruh-migran/

Lemahnya Perlindungan Buruh Migran
Oleh: Oki Hajiansyah Wahab
Peminat masalah sosial (Staf Yabima)


Lagi-lagi bangsa kita disajikan pemberitaan soal nasib tragis buruh migran Indonesia di luar negeri. Kasus kekerasan yang dialami Sumiyati mencuat setelah mendapat liputan media.

Pemerintah kita sekali lagi menunjukkan karakternya, yakni bekerja secara reaktif untuk menghindari tekanan publik terkait dengan kasus-kasus BMI. Hal ini menunjukkan belum adanya perubahan mendasar terhadap usaha-usaha untuk meningkatkan perlindungan negara terhadap para pahlawan devisa.

Rendahnya komitmen pemerintah terlihat dari tidak adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) harus diakui lebih banyak berkutat pada aspek pengaturan penempatan buruh migran secara administratif semata.

Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh sistem penempatan BMI ke luar negeri saat ini adalah pihak swasta. Bahkan hal itu dijamin dalam UU No. 39/2004 pada Pasal 4 dan Pasal 10. Saatnya pemerintahan merubah paradigma dan politik penempatan BMI-nya, di mana manusia diperlakukan sebagai barang dagangan lewat politik buruh murahnya.

Derita buruk yang menimpa buruh migran kita sejak sebelum pemberangkatan dan ketika bekerja di negeri penempatan bersumber dari skema swastanisasi migrasi yang diadopsi dalam UU No. 39/2004 tentang PPTKILN. Derita buruh migran kita dapat dikurangi jika pemerintah mengubah skema swastanisasi migrasi menjadi nasionalisasi migrasi.

Dengan demikian, kepastian hukum, perlindungan BMI, dan daya tawar BMI tehadap negeri penempatan dapat dijamin dan tidak dialihkan kepada pihak swasta.Kita bisa belajar dari Filipina sebagai negeri yang pendapatan terbesarnya dari remiten para buruh migran. Filipina telah mengadopsi dan meratifikasi berbagai standar internasional, termasuk Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Dalam prakteknya, aturan ini dipakai sebagai acuan dalam politik penempatan buruh migrannya. Proses penempatan dilakukan direct hiring, yakni tanpa melalui agen penempatan berlaku. Kedua, kebijakan dari Pemerintahan Filipina karena proses penempatan buruh migran dilakukan oleh pemerintah melalui POEA (Philippines Overseas Employment Agency).

Kebijakan yang sedikit banyak mengurangi beban BMI. Alhasil, menurut penelitian IMWU (Indonesian Migrant Workers Union) di Hongkong, pelanggaran kontrak terhadap buruh migran asal Filipina sangat sedikit terjadi dibandingkan dengan pelanggaran terhadap buruh migran Indonesia.
Kasus Sumiyati semakin memperkuat analisis tentang mendesaknya revisi UU PPTKILN. Menurut data Migrant Care pada 2004, ketika UU PPTKILN itu baru disahkan, kematian buruh migran Indonesia di luar negeri berada pada angka 153 orang. Pada 2009 angka kematian buruh migran Indonesia telah sampai pada angka 1.018 orang atau meningkat 600%. Regulasi, yang diharapkan dapat melindungi para buruh migran, justru berakhir tragis.

Revisi UU PPTKILN menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Ruang lingkup UU juga harus diperluas dan mencakup juga anggota keluarga buruh migran. PRT (pekerja rumah tangga) migran, buruh migran mandiri, ABK, dan buruh migran tidak berdokumen.Hal tersebut sekaligus menjadi upaya untuk mengembalikan tanggung jawab negara untuk perlindungan buruh migran Indonesia melalui desentralisasi peran kepada pemda dan membatasi peran-peran swasta (PPTKIS) dalam proses migrasi.Revisi UUPTKILN diharapkan dapat menjamin hak-hak dasar buruh migran Indonesia sebagaimana dijamin dalam standar perburuhan internasional.

Di sisi lain, pemerintah juga harus segera membuat MoU dengan negara-negara penerima buruh migran Indonesia. Seperti kita ketahui, akibat tidak adanya MoU bilateral negara pengirim dan penerima, kasus-kasus kekerasan dan perlakukan sewenang-wenang terhadap buruh migran kita akan terus terjadi.

Sebagai contoh, pernyataan Duta Besar Saudi Arabia Abdurrahman yang mengatakan di antara sejuta lebih buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi, kasus Sumiati merupakan hal yang jarang terjadi, adalah tidak benar adanya. Faktanya, Migrant CARE mencatat sepanjang 2010 ada 5.563 pekerja rumah tangga yang bermasalah di Arab Saudi. Perinciannya, korban penganiayaan 1.097 orang, 3.568 orang sakit akibat situasi kerja tidak layak, dan 898 orang korban kekerasan seksual dan tidak digaji.

Dalam rangka memaksimalkan perlindungan hukum terhadap buruh migran kita di luar negeri, pemerintah kita juga sebaiknya menguatkan regulasi dengan menggagas konsep liabilitas hukum. Liabilitas harus dipandang sebagai tanggung jawab, keadaan dari seseorang yang terikat dengan hukum dan keadilan guna melakukan sesuatu yang mungkin dipaksakan melalui tindakan. Artinya, kondisi suatu persoalan yang muncul harus memberikan reaksi untuk suatu kewajiban dalam melakukan hal khusus yang dapat dipaksakan melalui tindakan pengadilan.

Indonesia dapat belajar dari sejumlah negara yang sudah lebih dulu menerapkannya. Jerman, Inggris, dan Prancis sudah mengintegrasikannya dalam beberapa regulasi yang mencakup dua aspek.Pertama, aspek hukum perdata yang mencakup masalah kompensasi bagi yang dirugikan. Kedua, aspek hukum pidana yang terkait dengan sanksi fisik yang harus dibebankan kepada pihak yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap buruh migran.

Dengan model perlindungan hukum yang demikian, sangat diyakini kemandulan perlindungan terhadap buruh migran kita dapat diminimalisasi. Para buruh migran yang seyogianya dipandang sebagai duta bangsa di berbagai negara, harus mendapat perlindungan hukum maksimal dalam rangka meningkatkan martabat para buruh migran, sekaligus harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata negara-negara lain.

Ide SBY untuk membagi-bagikan ponsel kepada para buruh migran merupakan ide yang baik, tapi tidak cukup tepat untuk mengatasi berbagai persoalan buruh migran. Hal tersebut akan menjadi lebih sempurna jika SBY mengubah paradigma pengiriman buruh migran dan memberikan jaminan perlindungan terhadap para pahlawan devisa kita.Para pahlawan devisa kita tentunya lebih membutuhkan jaminan perlindungan dari negara asal yang mereka cintai tersebut dibandingkan dengan sekadar ponsel.
Artikel ini dimuat di SKH Lampung Post Edisi Rabu, 24 November 2010
Sumber : http://yabima.org/?p=99

Pemerintah, Indonesia, undang-undang, ratifikasi, buruh, migrant, migran, pekerja, worker, labor, babu, jongos, prt, pembantu rumah tangga, perawat, nurse, TKI, TKW, BMI

KEKUATAN DAYA TARIK – MAGNET KOTA BATAM



KEKUATAN DAYA TARIK – MAGNET KOTA BATAM

Apa yang Menarik di Batam (1)

"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
___________________________
Berkunjung Ke Pulau "Nguyen"
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada resepsionis di Hotel Nagoya Plaza. Saya berharap mendapat jawaban yang memuaskan karena saya hanya punya satu hari saja di Batam. Tetapi si resepsionis malah bertanya, "Aduh, dimana ya?"
Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Untunglah saat berkunjung ke Patria Tour yang masih bersebelahan dan bahkan satu atap dengan Hotel Nagoya Plaza, dua gadis belia yang saya temui dengan responsif menjelaskan kemungkinan saya berkunjung ke Barelang. Itu bukan saudara kembar "belerang", tetapi singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Dulu tiga pulau yang berdekatan ini bagian dari Provinsi Riau, tetapi setelah pemekaran kini masuk ke Provinsi Kepulauan Riau.
"Pulau Galang?" Tanya saya.
"Benar. Pulau Galang. Di sana Bapak bisa menemukan barak bekas pengungsi Vietnam, dimana sebelumnya Bapak akan melewati enam Jembatan Balerang," jawabnya langsung ke sasaran.
Ah, Pulau Galang. Pengungsi Vietnam.
Sejenak ingatan melayang ke masa lalu, 23 tahun lalu. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, saya pernah membaca sebuah novel bersampul merah dengan judul, kalau tidak keliru, "Mendung Di Atas Vietnam" Saya lupa siapa penulisnya. Judulnya pun mungkin tidak tepat begitu. Tetapi isi ceritanya yang masih saya ingat benar sampai sekarang!
Novel lawas itu bercerita tentang pengorbanan cinta gadis belia pengungsi Vietnam bernama Nguyen yang terdampar di Pulau Galang, sebuah pulau berjarak kurang lebih 80 kilometer dari Pulau Batam. Nguyen telah kehilangan semua saudara-sadara dekatnya karena dibantai rezim komunis saat itu. Ia diselamatkan tetangganya dan dinaikkan ke kapal kecil, lebih tepat disebut tongkang kayu, untuk berlayar tanpa tujuan asalkan bisa keluar dari neraka Vietnam.
Nguyen. Kalau saja saat itu si pengarang tahu wajah aktris Malaysia Michelle Yeoh, mungkin ia akan sepikiran dengan Andrea Hirata dalam menggambarkan Nguyen sebagai si cantik Yeoh. Tapi saat novel itu disusun, Yeoh mungkin masih mengenakan celana monyet atau kemana-mana tanpa "bra" karena memang masih kanak-kanak.
"Benarkah reruntuhan barak dan bekas-bekas pengungsi Vietnam masih tersisa di Pulau Galang?" tanya saya lagi.
"Saya tidak bisa cerita banyak kecuali Bapak mengunjunginya," katanya.
Ah Nguyen!
Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka "toloheor" (kata orang Sunda) alias play boy berat. "Aku yakin semua gadis Vietnam sudah tidak perawan bahkan sebelum sampai ke Pulau Galang. Apalagi setelah sampai di Pulau Galang, gadis pengungsi Vietnam biasa menyerahkan tubuhnya kepada penguasa untuk menjaga kelangsungan hidupnya," demikian kira-kira si tokoh aku berprasangka.
Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria Indonesia itu, dengan tulus. Si pria Indonesia sudah terlalu sering gonta-ganti perempuan, dan masih menganggap Nguyen "korban berikutnya". Waktu pun tiba, dalam kesenyapan malam dan temaram bulan yang menyelinap hutan Pulau Galang, si pria Indonesia bergumam setelah melampiaskan hasratnya. "Nguyen, rupanya kau masih perawan!" Dan Nguyen hanya bisa terisak…
Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen "masih hidup" dan ada di pulau itu.
Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.
"Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John," kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam.
"Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang," kata John.
"Apa istimewanya sebuah jembatan?" Tanya saya.
"Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak."
Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John. John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.
"Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi," katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google Mobile dan memasukkan kata kunci "Jembatan Barelang". Got it! Saat John berceloteh tentang jembatan itu, saya sudah langsung memahaminya hanya lewat ponsel internet di telapak tangan. Terima kasih, teknologi informasi!
"Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘kan, John?"
John menoleh, "Kok Bapak Tahu?"
"Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!"
"Ah, Bapak malah lebih tahu!"
Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.
"Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu," kata saya.
"Cantik, Pak, kita segera menuju ke sana…"

Sumber :
http://romakiel.multiply.com/journal/item/8
Apa yang Menarik di Batam? (2)
Kepiting dan udang tepung Barelang.
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
___________________________

"Enam Bersaudara" Jembatan Barelang

Bicara soal jembatan, sebuah "ikon" Kota Batam yang ditawarkan John, sopir yang mengantar saya menelusuri jalan lurus menuju Pulau Galang, saya teringat Golden Gate Bridge di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, yang menghubungkan San Francisco dengan California. Seperti itukah Jembatan Barelang?

Dari kejauhan, saya belum melihat Jembatan Barelang. Tetapi dua pucuknya di kiri dan kanan menjulang ke langit membentuk kerucut, terlihat samara dari kejauhan. Pucuk kerucut sampai ke jalan raya mencapai 200 meter. Alangkah tingginya pucuk itu, gumam saya. Melihat pucuk yang menjadi titik tumpu kekuatan itu, saya juga teringat "ikon" baru Kota Bandung berupa jembatan layang di atas Pasteur.

"Itulah jembatan pertama dari enam Jembatan Barelang, Pak," kata John dengan pandangan tertuju ke depan.
"Apakah lima jembatan lainnya juga menjulang setinggi itu?"
John menjawab, "Tidak, hanya jambatan inilah yang terbagus. Lainnya biasa saja."

Hemh, boleh juga Kota Batam ini, pikir saya. Tapi persoalan yang saya baca dari hari ke hari, adalah wajah industri Batam yang semakin muram. Banyak investor yang semula terkonsentrasi di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, hengkang ke negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Alasan investor, karena adanya dualisme aturan yang membingungkan dunia usaha; aturan Pemerintah Kota Batam dan aturan Otorita Batam. Kerap karena ingin saling unjuk pengaruh, masing-masing aturan saling berbenturan, bukan malah saling melengkapi dan mendukung.

Pemerintah pusat bukannya tidak mengetahui persoalan ini. Pernah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyapa dan mengundang kembali para pengusaha agar menanamkan modalnya di Batam, bukannya di negara tetangga. Tetapi dalam dunia bisnis, imbauan penguasa atau raja sekalipun belumlah cukup. Para pengusaha tidak butuh cumbu rayu atau pemanis kata-kata penguasa. Yang mereka butuhkan adalah aturan yang tegas, aturan yang tidak membingungkan, aturan yang tidak mendua.

Mereka, para pengusaha itu, tidak keberatan dengan membayar pajak, asalkan pajak yang jelas, bukan "pajak siluman" yang harus menjadi beban pengusaha, mulai "pajak siluman" dari oknum aparat keamanan, oknum legislatif dan eksekutif, bahkan "uang keamanan" untuk sejumlah organisasi massa. Kalau para pengusaha sudah pada lari ke luar negeri, akibatnya sangat mengerikan.

Selain akan dipenuhi para pengangguran, Batam hanya akan menjadi rongsokan pabrik yang kosong di Muka Kuning. Akibatnya, tidak ada lagi pemasukan bagi kas daerah yang kelak mungkin hanya mengandalkan sektor wisata yang tidak seberapa nilainya karena tidak pernah digarap serius. Contohnya ya enam Jembatan Barelang ini.

Jembatan ini dibiarkan terentang apa adanya, sekadar pelepas penat warga Batam yang ingin menghirup udara segar di atasnya sambil memandang laut dan pulau-pulau kecil di bawahnya. Barelang yang dirancang sebagai kawasan industri terbesar negeri ini, hanya tinggal rencana di atas kertas. Ini kenyataan yang tak terbantahkan, paling tidak sampai saat ini.

Sinyal GSM yang memungkinkan ponsel internet bisa beroperasi sudah mulai putus. Tetapi beruntung tadi saya sempat membaca bahwa adanya Jembatan Barelang berkat jasa dan ide Pak Habibie. Beliau adalah mantan Presiden RI yang hanya menjabat 2,5 tahun sebelum digantikan Abdurrahman Wahid. Tetapi orang lebih mengenang Habibie sebagai "jagoan teknologi", teknokrat ulung yang mengembangkan pabrik pesawat IPTN di Bandung, meski kemudian pabrik pesawat terbang yang berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) itu kini merana.

Sebanyak 50 insinyur aeronotika godokan IPTN sudah hengkang ke Malaysia, diiming-imingi pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jangan heran, setelah memproduksi mobil Proton yang sudah berserakan di jalan-jalan Jakarta, sebentar lagi negeri jiran ini sudah bangga dengan pesawat produksi sendiri. Ratusan insinyur IPTN lainnya bekerja di pabrik-pabrik pesawat Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Spanyol, Brasil, dan negara lainnya. Ketika Habibie lengser dan nyaris tidak punya pengaruh apa-apa lagi, "menara pasir" tanpa fondasi kuat yang didirikannya pun ikut tersapu angin. Kalaupun masih ada, itu tinggal rangka-rangkanya saja.

Habibie adalah teknologi dan teknologi adalah Habibie. Di Jembatan Barelang yang sebentar lagi akan saya injak, saya kembali teringat jasa Pak Habibie. Bagaimanapun, beliau punya konsep mengenai Batam, Rempang dan Galang ini, yang bermaksud tidak hanya membangun Pulau Batam yang sudah penuh sesak dan jenuh, tetapi dengan melebarkan kawasan industri sampai ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Bahwa cita-cita tidak kesampaian, itu soal lain.

Saya percaya, ini bukan proyek tanpa konsep. Ada dasar pemikiran kuat, meski akhirnya saya tidak melihat perpindahan kawasan industri itu ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kawasan industri tetap saja umpel-umpelan di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, Pulau Batam.

Nama resmi Jembatan Barelang itu sendiri sebenarnya Jembatan Tengku Fisabilillah, Raja yang memerintah Kerajaan Melayu Riau pada abad 15 hingga 18. Tetapi penduduk Batam dan sekitarnya terbiasa menyebut Jembatan Habibie, merujuk pada si empunya gagasan. Jembatan pertama yang ternyata kokoh namun indah ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton di titik terujungnya.

Membentang sepanjang 642 meter, jembatan yang mulai dibangun tahun 1992 itu tidak lebih dari jembatan gantung yang atasnya terentang kabel-kabel baja. Beberapa pilar beton raksasa ditanamkan ke dasar laut untuk menyangga badan jalan dengan empat jalur kendaraan di atasnya itu. Kabel-kabel baja sebesar lengan terikat di tepi jalan dengan jarak yang sudah dihitung, lalu seluruh ujungnya terkumpul di satu titik di atas puncak tonggak setinggi 200 meter.

Kalau dilihat dari jauh, nampaklah jembatan pertama Jembatan Barelang ini seperti jaring raksasa penjerat burung berbentuk segitiga, atau dilihat lebih jauh lagi, tampak seperti bayangan transparan piramida Mesir yang muncul dari permukaan laut!

John bercerita, kalau sore hari atau hari libur lainnya, jembatan ini penuh sesak oleh warga Batam dan pelancong yang menghabiskan waktu "menyantap" bulatan matahari kekuningan tergelincir di ufuk barat.
"Jadi kami boleh berhenti di Jembatan Habibie ini, John?" tanya saya.
"Tentu, Pak, saya ajak Bapak ke sini ini memang untuk menikmatinya. Silakan!" Toyota berkursi 14 yang tidak beredar di Jakarta ini menepi di kiri jalan. Saat menepi, beberapa pedagang asongan yang menawarkan gorengan udang dan gorengan kepiting menghampiri.
"View first, then cullinaire," pikir saya. Lantas saya pun mengeluarkan Canon saku saya dan mulai membidik sana-sini. Setelah itu, barulah saya berpaling ke pedagang asongan tadi.

Saya tertarik dengan penganan itu bukan karena lapar, tetapi karena cara penyajiannya yang mengundang penasaran. Lima udang dijajarkan dan seperti menempel di lidi, kemudian digoreng dengan tepung berwarna kuning. Hasilnya adalah goreng udang tepung yang berongga besar dengan lidi sebagai "porosnya". Pedagang menawarkan Rp 10.000 untuk empat gorengan udang. Satu lagi gorengan kepiting besesar telapak tangan berwarna merah saga. Baru kali ini saya melihat kepiting diperlakukan seperti itu, yakni digoreng dengan tepung. Harganya lumayan mahal, Rp 25.000 per ekornya.

Saya tidak tertarik membelinya. Bukan karena saya tidak suka udang dan kepiting, tetapi karena tujuan saya ke Pulau Galang, tempat ribuan pengungsi Vietnam bernaung, belum tercapai. Lagi pula John memberi second opinion terhadap kepiting malang itu.

"Dua puluh lima ribu untuk sejentik daging kepiting, rasanya terlalu mahal, Pak," katanya.

Saya tidak mau mendebat John, tetapi saya ingin buru-buru melintasi empat jembatan lainnya agar bisa segera sampai ke Pulau Galang, pulau dimana gadis Vietnam bernama Nguyen hidup dalam bayang fantasi saya.

Sumber : http://romakiel.multiply.com/journal/item/9
Apa yang Menarik di Batam? (3)
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam lima seri tulisannya.
_____________________________________________


Saksi Bisu Tiga Buah Perahu

Saya meneruskan perjalanan setelah puas menikmati Jembatan Habibie atau Jembatan Teungku Fisabilillah. Untuk sampai ke Pulau Galang, saya harus menempuh empat jembatan lagi, minus satu jembatan terujung yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Untuk itulah mengapa Jembatan Barelang yang merupakan kependekan dari Batam-Rempang-Galang itu memiliki enam jembatan.

Seperti yang saya ceritakan terdahulu, hanya satu jembatan yang paling fenomenal, baik dari struktur bangunan, panjang, maupun keindahannya. Kini saya sudah meninggalkan "Batam Coret", yang dapat saya lihat di rambu-rambu sebelum menuju pulau berikutnya, Pulau Tonton. Dari kaca spion mobil, saya melihat bayangan Jembatan Barelang berdiri indah dan megah dengan jalan di tengahnya yang tidak rata dan seperti terangkat tali-tali kawat baja.

Semakin menjauh, semakin jarang mobil yang melintas. Kalaupun ada yang melintas, saya masih bisa menikmati merek dan jenis-jenis mobil yang aneh-aneh, yang tidak beredar di Jakarta, mulai dari jeep, sedan, sampai kendaraan serba guna buat keluarga. Sesekali berpapasangan dengan mobil double-deck, yang bagian belakangnya memang dipergunakan untuk mengangkut kayu. Memang untuk semestinya. Di Jakarta, tidak pernah saya melihat bagian belakang mobil double-deck digunakan mengangkut kayu atau hasil bumi lainnya, melainkan ditutup terpal atau memasang aksesoris mahal lainnya. Pokoknya double-deck di Jakarta 100 persen buat "ngegaya", sementara double deck di Batam asli buat kerja.

Bagi peminat otomotif, yang mencolok saat kita keluar dari Bandara Internasional Hang Nadim, saat mencari taksipun sudah dihadapkan pada berbagai jenis dan merek kendaraan yang digunakan. Taksi yang saya tumpangi, misalnya, adalah Toyota hatchback yang dilengkapi airbag. Di Jakarta mungkin ada taksi yang dilengkapi alat keselamatan jika kendaraan berbenturan itu, tetapi itu masuk taksi "golden" atau "premium", yang tarifnya aduhai. Di Batam, saya menikmati taksi sedan yang nyaris tanpa suara, dilengkapi airbag, tetapi dengan tariff biasa.

Meski terlihat sudah agak out of date, tetap saja berbagai jenis mobil itu terkesan mewah buat saya. Bayangkan, Toyota Harrier, Celica dan RAV4, Nissan Terano, Mitsubishi Pajero built up, yang hanya ada dalam angan-angan saya itu, berseliweran di jalanan Batam. Semua mobil itu didatangkan dari Singapura dengan bea masuk yang nyaris nol persen, sehingga jatuhnya pun menjadi murah sesampainya di Batam. Di Singapura, mobil-mobil itu baru dipakai paling tidak 4-5 tahun, setelah itu "dibuang" ke Batam.

Itu berarti, mobil-mobil itu masih "gres" saat tiba di Batam. Jalanan yang mulus dan jarak tempuh yang terbatas, pastilah membuat kondisi mobil tidak cepat rusak. Tetapi, jangan harap mobil di Batam bisa keluar dari Batam yang dikenal sebagai kawasan berikat itu. Ah, itu teori. Buktinya saat saya bertugas di Aceh beberapa pekan setelah tsunami, banyak mobil-mobil eks-Singapura yang berhasil dikeluarkan dari Batam. Apa yang tidak mungkin di negeri ini, Bung!

Jembatan Tonton-Nipah, Nipah-Setoko, dan Setoko-Rempang sudah saya lalui. Kalau seluruh enam jembatan itu dibentangkan, panjangnya bisa mencapai dua kilometer. Pada sebuah ruas, John membelokkan mobilnya ke arah kiri.

"Kita memasuki bekas kamp pengungsi Vietnam, Pak," katanya. Wow, inilah yang saya tunggu-tunggu.

Saat kendaraan memasuki jalan yang lebih kecil setelah berbelok dari jalan besar, mata tertumbuk pada peta raksasa mengenai rencana pembangunan Pulau Galang. Saya menemui jalan bercabang. Ke arah kiri menuju Pelabuhan Karyapura, Masjid Baiturrahman, perumahan komunitas lokal atau penduduk asli Pulau Galang, dan Gereja Katolik Hati Kudus. Sementara ke arah kanan menuju bekas kamp pengungsi Vietnam. Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cata dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM.

"Kita langsung ke kanan saja, John," pinta saya.

John menurut. Mobil pun memasuki pintu gerbang.
"Bapak harus membayar tiket masuk," kata John. Tanpa diberi tahu pun sebenarnya saya sudah tahu. Saya mempersiapkan uang lembaran limapuluh ribuan. Saat menurunkan kaca mobil, seorang petugas melongok.
"Berapa orang, Pak?"
"Dua," jawab saya cepat, "Satu sopir travel"
"Duapuluh ribu saja," katanya.

Saya melirik John, maksudnya meminta jawaban kok harganya semurah itu, padahal kami bertiga masuk dengan mobil. Saya jadi ingat Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta, penumpang dihitung perkepala. Sialnya, kendaraan masuk pun kena hitung, seakan-akan kendaraan itu ingin ikut menikmati Ancol! Rupanya di Pulau Galang ini tidak.

"Biasaya kalau mobil penuh kami memungut biaya dupapuluh lima ribu rupiah. Tetapi karena hanya dua orang, ya cukup sepuluh ribu rupiah saja," kata petugas. Astaga, ternyata John tidak "direken" orang!

Setelah membayar, kami segera melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat. Di berbagai tempat terdapat plang bertuliskan "Galang, Memory of a Tragedic Past". Kalau saya terjemahkan secara bebas, mungkin bunyinya "Galang, Kenangan akan Tragedi Masa Silam". Segala fasilitas yang tersedia untuk pengungsi, masih ada di sana. Mulai dari barak tempat penampungan pengungsi, rumah sakit, sekolah, gereja, sampai kuburan. Tetapi mata saya langsung tertumbuk pada tiga perahu kayu. Inilah "malaikat penyelamat" nyawa para pengungsi Vietnam sesungguhnya yang terdampar di Pulau Galang!

Perahu. Tidak ada istimewanya dengan alat transportasi ini bagi saya. Beberapa tahun lalu saya dan teman-teman menyewa kapal yang tiga kali lebih besar dari tiga perahu yang ada di depan mata saya itu. Bukan karena terapung-apung mengungsi, tetapi sengaja mengapungkan kapal yang disewa belasan juta rupiah itu di tengah samudera di perairan antara Sulewesi dan Kalimantan semata-mata untuk bersenang-senang, yakni memancing ikan kakap di laut dalam. Sebuah pengalaman eksotis yang kemudian saya tulis di Harian Kompas.

Tetapi tiga perahu yang ada di depan saya itu, yang ukuran panjangnya saja tidak lebih dari lima belas meter, telah "berbicara banyak" dalam menyalamatkan puluhan nyawa pengungsi Vietnam yang berlindung di haluan sampai buritannya. Saya mencari-cari informasi mengenai tiga perahu itu. Tidak ada guide yang membimbing dan memberi saya informasi. Untunglah di depan tiga perahu itu ada plakat tiga alinea yang bunyi aliena pertamanya begini:

"Perahu kayu ini adalah sisa-sisa dari peninggalan pengungsi Vietnam yang sengaja ditenggelamkan di perairan Pulau Galang dan ada beberapa perahu yang dibakar oleh para pengungsi sebagai aksi protes dan penolakan pemulangan kembali ke negara Vietnam."

Saya membayangkan Nguyen, si perawan Vietnam dalam novel itu berada di salah satu perahu itu. Terbayang pula setelah ia diperdayai si lelaki "Toloheor" yang kemudian meninggalkannya begitu saja, Nguyen terlunta-lunta karena cinta sucinya yang kandas, yang tersia-sia begitu saja. Saya membayangkan saat para pengungsi itu diminta paksa keluar dari Pulau Galang, Nguyen meronta-ronta karena tidak mau dikembalikan ke Vietnam. Maunya ia ingin tinggal di Indonesia, hidup bersama lelaki yang merenggut kegadisannya, yang dikira mencintainya sepenuh hati.

Saya membaca aliena kedua plakat itu:

"Setelah peninggalan mereka dari Pulau Galang tahun 1995, perahu ini oleh Otorita Batam diangkat ke daratan kemudian diperbaiki dan dipamerkan untuk publik sebagai obyek yang bernilai sejarah."

Saya sangat setuju kalau tiga perahu itu bernilai sejarah. Saya tidak akan menyangkalnya. Tahun 1995. Artinya baru 13 tahun yang lalu terjadi prahara kemanusiaan yang menimpa pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Setelah merapat di Pulau Galang tahun 1979, setelah terapung-apung berbulan-bulan dan bahkan ada yang sampai terapung setengah tahun, mereka sampai di pulau ini dan mendapat perlindungan badan PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR. Dari 1979 ke 1995, itu artinya perjalanan waktu selama 16 tahun. Saya mulai menghitung-hitung…

Kala itu gadis Nguyen dalam novel dan hidup dalam fantasi saya itu berusia 17 tahun, gadis yang tengah mekar-mekarnya. Artinya, ia meninggalkan Pulau Galang saat usianya menginjak 33 tahun, usia yang menjadi ukuran puncak kedewasaan seorang perempuan, saat gurat-gurat kecantikan belum begitu banyak beranjak tergerus usia. Saya mau bilang, Nguyen pasti masih tetap cantik diusianya yang ke-33 saat ia dengan perasaan berat harus meninggalkan Pulau Galang, meninggalkan cintanya yang kandas. Nguyen, Nguyen…. dimana kamu sekarang?

Enam belas tahun. Tentu bukan waktu singkat. Saya bayangkan, di kamp pengungsian itu pasti ada bayi usia bulanan yang selamat saat pertama kali mereka. Maka ketika ia harus meninggalkan Pulau Galang, pastilah bayi itu sudah beranjak remaja, sama seperti saat Nguyen tiba. Kalau ada pengungsi Vietnam sudah berusia tua saat tiba di Pulau galang, pastilah ia juga meninggal dan ditanam di Pulau Galang. Maka kuburan pengungsi Vietnam akan menjadi fokus tulisan saya tersendiri, demikian pikir saya saat itu. Tetapi sekarang saya membaca alinea ketiga plakat itu:

"Perahu inilah yang dipakai para pengungsi mengarungi lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia dengan harapan dapat perlincungan dari negara lain, di antaranya sampai ke Pulau Galang ini dan sebagian dari mereka gagal mencapai daratan dan gugur di tengah lautan karena perahunya tenggelam".

Saya memandang dan bahkan memegang satu perahu yang bagian lambung kirinya sudah hancur akibat kuasa bakteri. Satu perahu lagi, di ujung kiri-kanan haluannya, tertulis TG 1050 TS. Saya memuaskan diri berlama-lama di depan tiga perahu yang menjadi "saksi hidup" hidup-mati para pengungsi Vietnam, termasuk Nguyen di dalamnya.

Setelah puas, saya bergegas menuju segerumbul tanaman teduh, tempat kuburan para pengungsi Vietnam yang meninggal di Pulau Galang. Saya akan menuliskan tentang kuburan bisu tetapi "bercerita banyak" ini dalam tulisan perjalanan berikutnya…

Sumber : http://romakiel.multiply.com/journal/item/10

Apa yang Menarik di Batam? (4)
Minggu, 25 Mei 2008 | 09:05 WIB
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam enam seri tulisannya.
_____________________________________________
Kuburan Bisu yang Bercerita Banyak
Sesungguhnya, sebelum tiba di lokasi monumen atau "saksi hidup" tiga perahu yang digunakan pengungsi Vietnam untuk sampai di Pulau Galang, saya melewati satu kompleks kuburan khas China. Ingatan saya kembali hinggap pada masa lebih 30 tahun lalu, saat saya baru masuk taman kanak-kanak di desa saya, Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang warga China kaya di desa saya bernama Tek Tjay, meninggal dunia. Saya kebetulan diajak orangtua mengantarkannya ke pemakaman khusus di Kota Tasikmalaya. Seperti makam warga China di Tasikmalaya itulah ornamen makam Vietnam yang saya lihat di Pulau Galang. Maka saya minta John berhenti saat kembali melewati kuburan itu.
"Tidak takut melihat-lihat kuburan orang mati, Pak?" Tanya John
Dimana ada kuburan orang hidup? Pikir saya.
"Saya kadang lebih takut sama orang hidup, John," kelakar saya.
Entahlah, kenapa juga saya selalu tertarik dengan kuburan. Tentu saja bukan karena saya ingin buru-buru menjadi penghuninya, tetapi bagi saya kuburan merupakan satu tempat bisu membeku tetapi sebenarnya memiliki banyak cerita. Kalaupun tidak ada prasasti di ujung atas sebuah kuburan, pastilah tulang-belulang yang tertanam di dalamnya punya cerita tersendiri.
Saat saya memasuki sebuah goa tempat orang mati digeletakkan begitu saja di Tanatoraja tahun 2003 lalu, misalnya, saya melihat tulang belulang dan tengkorak yang kadang sudah agak menghitam. Lantas imaji saya coba merekonstruksi saat daging, kulit, dan nyawa masih menjadi bagian tulang-belulang itu, saat si mati masih hidup. Saya bayangkan, ia mungkin seorang raja kaya yang berkuasa, perempuan cantik penakluk para pria kaya, atau orang-orang yang berpengaruh lainnya yang di kala hidupnya sangat dihormati dan dipuja-puja.
Tetapi setelah menjadi tulang-belulang… tak lebih dari kumpulan benda yang tak berharga apa-apa, yang bisa kapan saja dimangsa srigala. Orang, dan bahkan sanak-saudara segera lupa siapa kita ketika kita sudah menjadi penghuni abadi kuburan. Bukan begitu, Bung, Non!?
Itu sebabnya mengapa saya punya ketertarikan tersendiri terhadap kuburan. Bahkan pada 13 Juni 1996, satu tulisan saya di Harian Kompas, bercerita mengenai Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang No 1 Jakarta. Dalam museum terbuka atau Open Air Museum satu-satunya di Indonesia itu, tertanam rangka para orang-orang penting Belanda, mulai dari gubernur jenderal pertama sampai rakyat Belanda biasa yang mati di Batavia. Kepala Museum saat itu, Ralin Manik, bahkan bertanya mengapa saya tertarik menulis kuburan. "Rasanya baru Anda wartawan yang meliput di museum ini," katanya.
Kini saya berdiri di kuburan yang berbeda. Bukan di Tanah Abang tempat dimana orang-orang Belanda ditanam, tetapi saya berdiri di kuburan Vietnam di Pulau Galang. Pasti tanah beku ini juga punya cerita. Sepanjang 16 tahun, merujuk pada keberadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang datang tahun 1979 hingga 1995, telah banyak pengungsi Vietnam yang meninggal di tempat ini karena berbagai sebab. Baik kematian alamiah atau karena depresi tak tertahankan akibat berbulan-bulan terkatung-katung di atas lautan sebagai manusia perahu, tercerai berai dari sanak-saudara dengan masa depan yang masih samara-samar.
Di depan pintu gerbang kuburan terdapat tulisan "Ngha Trang Grave" yang menunjukkan nama pemakaman itu. Di bawah gerbang, bersatu dengan nisan-nisan besar kuburan, terdapat satu inskripsi yang ditulis dalam lima bahasa, termasuk Bahasa Indonesia:
"Dipersembahkan kepada para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menju kebebasan"
atau dalam bahasa Inggris, "Dedicated the people who died in the sea on the way to freedom".
Perkiraan saya tidaklah terlalu meleset mengenai sebab-sebab kematian para pengungsi itu. Depresi di sini bisa berarti bunuh diri karena tak tahan menanggung beban mental. Saya kemudian membaca plakat berisi empat alinea pengumuman yang sedikit-banyak bercerita mengenai kuburan itu. Aliena pertama dan kedua plakat itu berbunyi begini:
"Di pemakaman ini terdapat 503 makam terdiri dari makam pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan agama yang berbeda yaitu Kristen dan Budha"
"Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah."
Saya tidak mengubah sedikitpun kata-kata yang tertulis dalam plakat itu. Saya biarkan apa adanya untuk memberi pemahaman utuh kepada pembaca. Sebanyak 503 makam, berarti sejumlah itulah warga pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang meninggal dunia. Kalau jumlah itu hanyalah10 persen dari pengungsi yang mati selama 16 tahun, bisa jadi sedikitnya pengungsi yang datang ke Pulau Galang sebanyak 5.000-an. Dari penelusuran sejumlah dokumen mengenai keberadaan pengungsi di hutan karet seluas 80 hektar itu, sedikitnya terdapat 10.000 pengungsi Vietnam. Kalau jumlah ini benar, artinya 5 persen pengungsi Vietnam menemui ajal di Pulau Galang ini.
Saya kemudian membaca inskripsi-inskripsi yang tertulis di atas nisan. Ada nama Dominico Nguyen Cong Cinh (lahir 1933, meninggal 1989), juga ada Daminh Nguyen Anh. Sudah dua "Nguyen". Apakah yang terakhir itu Nguyen yang diceritakan dalam novel itu? Saya tak tahu. Melihat tanggal lahirnya yang tahun 40-an, tentulah dia bukan Nguyen si perawan Vietnam dalam novel memikat itu.
Tentu saja masih ada 500-an inskripsi lainnya yang tidak mungkin saya catat satu persatu. Pada hampir semua batu nisan tertulis nama jelas si mati, berikut tanggal lahir dan hari kematiannya. Jika tidak ada tahun kelahirannya, paling tidak saat dia tiba di Pulau Galang sampai ia meninggal, tertulis sebagai "sejarah" yang banyak berbicara. Mengapa disebut "banyak berbicara"? Karena pada monumen beku itulah sebuah prahara kemanusiaan pernah terjadi dan kuburan adalah sebagai pangkal ingatan atau memori untuk sampai ke sejarah kelam kemanusiaan itu.
Tengok misalnya salah seorang mantan pengungsi bernama Hai Yen Hyunh dan anaknya Tien Kran yang sudah menjadi warga negara Australia, sengaja datang bereuni ke Pulau Galang pada 3 April 2005, setelah belasan tahun meninggalkan Pulau Galang. Ibu dan anak ini bukan sekadar reuni atau temu-kangen dengan sesama pengungsi lainnya, tetapi mengunjungi suami atau ayahnya di Pekuburan Ngha Trang ini.Suami Hai meninggal enam bulan sebelum ia dan anaknya pergi ke Australia tahun 1987, "Saya sangat sedih harus meningalkannya," kata Hai, kini berusia 55 tahun, yang pengalaman pribadinya tertulis dalam situs ThingAsian.
Saya masih berada di pekuburan Vietnam ini dan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:
"Ziarah kuburan ke makam ini oleh para keluarga dan sahabat yang pernah menjalani hidup bersama di pengungsian, sudah beberapa kali dilakukan."
"Para peziarah adalah mantan pengungsi Galang yang memperoleh sponsor dari negara-negara seperti Australia, Kanada,Amerika Serikat serta negara lainnya yang kini hidup senang dan mapan di negara-negara tersebut."
Memang Hai Yen Hyunh dan anaknya Tie Kran tidak sendirian. Ada sejumlah orang Vietnam lagi yang tidak harus menunggu sampai tahun 1995 sebagai batas akhir pemulangan pengungsi dari Pulau Galang. Ada beberapa pengungsi lainnya yang keluar sebelum tahun itu. Setelah Saigon jatuh tahun 1975, manusia perahu Vietnam dan Kamboja mencapai 147.000 orang yang berhasil selamat dan tinggal di sejumlah tempat penampungan pengungsi, termasuk Pulau Galang. Sebanyak 132.000 di antaranya diterima sebagai warga negara di negara ketiga. Ibu dan anak Hai-Tie termasuk 132.000 orang yang beruntung, meski di Australia ia menjalani hidup sebagai penjahit pakaian.
Saat pengungsi Vietnam yang tinggal di Pulau Galang harus segera dipulangkan, banyak di antara mereka memilih bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggelamkan diri ke laut dalam. Mereka lebih memilih mati daripada mati di tanah tumpah darahnya sendiri.
Kini para pengungsi Vietnam, termasuk yang pernah mukim di Pulau Galang, sebagian sudah menemukan kehidupannya di negeri ketiga, negara yang bersedia menerima mereka sebagai warga negara. Tidak ada satupun dari mereka yang bersedia kembali ke Vietnam karena mengira perang Vietnam masih berkobar. Sebagian lagi, tentu saja tertinggal di Pulau Galang, setidak-tidaknya 503 pengungsi Vietnam penghuni pekuburan Ngha Trang ini.
Sumber : http://romakiel.multiply.com/journal/item/11

Apa yang Menarik di Batam (5)
Senin, 26 Mei 2008 | 09:58 WIB
"Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?" Petugas resepsionis di sebuah hotel di Batam bingung menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Kota kepulauan yang bertetangga dengan Singapura ini memang belum giat mengekspos potensi wisatanya. Ikuti perjalanan Wartawan Kompas Pepih Nugraha menelusuri Batam dalam enam seri tulisannya.
_____________________________________________


Barak dan Penjara, Monumen Derita Masa Silam

Sebuah plang bertuliskan "KHONG PAN SU CAM PAO" membawa saya ke dua buah barak berbentuk "L" bekas penampungan pengungsi Vietnam yang lokasinya berada di tanah rendah. Itu adalah dua dari puluhan barak yang pernah berdiri di sana, yang kini diabadikan sebagai kenangan, tragedic of the past. Meski sudah menjadi "monumen" yang semestinya diurus agar pesan masa silam bisa sampai kepada generasi berikutnya, nampak tidak terurus dan menuju kehancuran total.

Atap barak yang terbuat dari seng dengan dinding kayu itu keadaannya menyedihkan, sama seperti nasib penghuninya di masa silam. Beberapa bagian seng sudah terangkat dan mengelupas karena akumulasi panas-dingin dipermainkan irama alam, terseret pergantian siang-malam. Beberapa tiang penyangganya sudah terkulai dimakan rayap. Kalaupun masih ada tiang yang berdiri, barangkali dengan dorongan kelingking saja tiang itu sudah rubuh.

Ukuran satu barak cukup luas, yang saya perkirakan bisa menampung ratusan jiwa. Saya teringat rumah gadang di Sumatera Barat yang bisa menampung puluhan keluarga, tentu saja keluarga dekat atau sanak-saudara yang masih dalam satu garis keturunan. Di barak ini, yang dalamnya melompong begitu saja, terserak ratusan jiwa yang tidak berasal dari satu klan. Bisa jadi satu sama lain tidak saling mengenal.

Bisa dibayangkan perkembangan psikologi penghuni di dalamnya, saat anak-anak mendengar bahkan menyaksikan "kegiatan" orang dewasa yang sebenarnya belum waktunya mereka saksikan. Sebaliknya, lelaki dewasa tergiur dengan gadis remaja yang beranjak dewasa, yang tertidur merana di sana. Semoga gadis itu bukan Nguyen, gadis Vietnam yang masih menancap dalam ingatan saya.

Di Pulau Galang, pulau berhutan karet seluas kurang lebih 80 hektar ini, barak para pengungsi Vietnam (beberapa di antaranya juga pengungsi Kamboja) terkonsentrasi di dua sayap. Saya memusatkan pada Khong Pan Su Cam Pao ini. Barak yang sudah terkepung rumput tinggi ini, kini dibiarkan kosong. Dari foto-foto lama yang dipajang di kuil Quam Am Tu (akan saya ceritakan dalam tulisan seri terakhir), saya bisa merekonstruksi para pengungsi itu tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai menanak nasi, mandi, mencuci, sampai sesekali berinteraksi dengan penduduk lokal.

Dalam satu barak lainnya yang agak tinggi lokasinya, beberapa penduduk lokal nampak tengah bercengkerama. Sebuah tali jemuran terentang dipenuhi pakaian. Benar-benar tidak menunjukkan monumen sesungguhnya, yang sebaiknya dijadikan cermin sebuah perjalanan hidup manusia yang tidak boleh menimpa generasi berikutnya. Perang dimanapun tidak membawa kemenangan, tetapi membawa kesengsaraan.

Tahun 1996 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Bosnia, Kroasia, dan bahkan sempat melintas Serbia. Khususnya di Bosnia, dengan bantuan pengamanan pemerintah setempat dan PBB, saya melihat-lihat keganasan perang di bekas kamp-kamp penyiksaan tentara Serbia terhadap warga Bosnia. Sebuah pembersihan etnis yang gila-gilaan yang tidak menyisakan rasa kemanusiaan, juga rasa belas kasihan.

Waktu itu seorang warga Bosnia menjelaskan, hampir semua lelaki Bosnia yang tertangkap dibantai tanpa ampun oleh anak buah Slobodan Milosevic, sementara perempuan Bosnia diperkosa ramai-ramai, bergiliran, hanya sekadar untuk mengaburkan identitas Bosnia, agar nama Bosnia lenyap dari muka Bumi. Seluruh akta atau keterangan dibakar, dari KTP sampai rekening bank, sehingga orang Bosnia bukanlah siapa-siapa. Itulah perang. Di Bosnia, di Maluku, di Vietnam, perang sama saja; membawa petaka dan derita.

Manusia perahu dari Vietnam umumnya membuka mata dan perhatian dunia akan sebuah petaka perang yang berimbas pada derita orang. Di Pulau Galang, pengungsi ini mendapat perhatian penuh badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR). Melihat jejak sejarah yang ditinggalkan, Pulau Galang dengan pengungsi Vietnam di dalamnya merupakan sebuah "pemerintahan" ad interim (sementara), setidak-tidaknya ada administrasi yang mengatur warga pengungsi, entah itu diatur UNHCR yang bekerja sama dengan Otorita Batam. Mulai fasilitas kesehatan, sekolah Perancis yang dekelola LSM Perancis Ecoles Sans Frontieres (sekolah tanpa batas), sarana ibadah, kuburan, sampai penjara!

Penjara?
"Ya, penjara untuk pengungsi yang melanggar aturan," jelas John, sopir yang mengantar saya. Saya memintanya menepi. Saya ingin melihat penjara itu dari dekat. Saya kembali teringat novel itu. Dalam salah satu bagian, si gadis melankolis Nguyen pernah dianggap melanggar aturan dan dijebloskan ke dalam penjara. Inikah penjara tempat dimana Nguyen pernah mendekam?

Saya meminta izin kepada petugas jaga untuk mengabadikan penjara berjeruji besi itu. Saya cermati dengan saksama, hanya ada dua sel dengan jeruji panjang-panjang membentuk pintu lipat berjeruji besi. Sehingga yang saya bayangkan, siapapun yang berada di dalamnya akan terlihat jelas dari luar. Sengajakah untuk mempermalukan si pelanggar aturan? Saya tidak tahu. Yang jelas, dua sel penjara itu bagian dari bangunan dua tingkat dimana keduanya berada di bawah. Di atas penjara itu ada kamar-kamar dengan jendela kaca. Untuk apa sebenarnya bangunan itu?

Saya kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan itu bukan dari John, sopir sekaligus pemandu saya, tetapi dari sebuah plakat yang terdapat di samping halaman depan bangunan itu. Begini bunyinya:

"Bangunan ini selain menjadi markas satuan Brimob Polri yang bertugas di ex-camp pengungsi Vietnam, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi,"
demikian alinea pertama yang saya baca. Saya harus mengakui bahwa informasi John akurat sampai di sini.

Alinea kedua, "Pengungsi yang ditahan di tempat ini adalah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari camp pengungsian dan yang bertindak kriminal seperti mencuri, memperkosa, dan membunuh sesama pengungsi."

Saya agak bergidik membaca kata-kata kriminal seperti mencuri, memperkosa, membunuh. Saya bahkan tidak menyadari kalau saya sebenarnya sedang traveling dan seharusnya merasakan hal yang happy-happy saja. Saya mengenyahkan argumen bahwa traveling itu hanya untuk senang-senang. Bagi saya, traveling juga bisa berarti kegiatan menggali ilmu pengetahuan di lapangan, memuaskan rasa ingin tahu, mengenal wilayah dan mengenal seni budaya masyarakat setempat.

Mencuri. Memperkosa. Membunuh.
Benarkah itu dilakukan pengungsi Vietnam? Benarkah orang-orang yang menderita itu saling menikam dan menghabisi sesamanya sehingga diperlukan dua sel penjara ini? Kalau demikian, apa kesalahan Nguyen saat itu? Semoga gadis itu bukan salah satu korban perkosaan atau bahkan korban pembunuhan!

Saya meneruskan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

"Operasional bangunan ini diserahkan kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini oleh Satuan Brimob Polri."

"Seiring dengan peninggalan pengungsi pada tahun 1996, satuan Brimob yang bertugas di sini ditarik kembali ke markasnya di Batam kemudian bangunan ini diserahkan kepada Otorita Batam. Saat itu kondisi bangunan sudah mengalami banyak kerusakan sehingga oleh Otorita Batam diperbaiki kembali."

Saya menarik napas panjang selepas membaca alinea terakhir plakat itu.
Tidak terasa, isi kepala saya dengan cepat merekonstruksi apa yang terjadi sekitar 30-an tahun lalu meski dengan ingatan yang sepotong-sepotong, saat prahara politik mendera kawasan Indochina di utara kita, khususnya Vietnam dan Kamboja. Orang-orang Vietnam berjudi nasib menjadi manusia perahu, terapung berbulan-bulan di tengah lautan tanpa kepastian. Sementara orang Kamboja yang tidak sempat mengungsi menjadi korban pembantaian rezim Khmer Merah di ladang pembantaian (The Killing Fileds), sebelum Komunis Vietnam menginvasi negeri ini. Di Kamboja ini, jutaan manusia terbantai sebelum mampu menjadi manusia perahu. Sekali lagi, itulah ganasnya perang!

Saya menyudahi "ziarah" kenangan saya di penjara Pulau Galang ini, sambil sesekali mengenang dan membayangkan Nguyen berdiri di kaki bukit di samping gereja, melambaikan tangan mengajak saya untuk mendengarkan segala ceritanya. Tetapi itu tidak akan pernah pernah terjadi, sebab Nguyen hanya ada dalam fantasi saya saja. Besok saya akan akhiri perjalanan ke Pulau Galang ini dengan menulis tentang religiositas para pengungsi Vietnam yang diwujudkan dalam sebuah kuil dan gereja di sana.
http://romakiel.multiply.com/journal/item/12

STOP URBANISASI

Anna Mariana, Pegiat Pemberdayaan Masyarakat, Tinggal di Cimahi
Selasa, 14 September 2010 | 21:40 WIB

BEBERAPA hari yang lalu baru saja kita menyaksikan atau bahkan merasakan bagaimana para pemudik melakukan safari ke desa mereka masing-masing. Beberapa hari kemudian, terjadi kembali arus balik dari desa ke kota (urbanisasi) bahkan dengan jumlah yang lebih besar disbanding yang mudik.

Masing-masing keluarga terkadang mengajak sanak saudara, kerabat ataupun sahabatnya pergi ke kota dengan harapan menemui kehidupan yang lebih baik. Akibatnya kini desa "kosong" ditinggalkan penghuninya. Salah apa dengan desa, padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah berasal dari desa.

Saya tidak bisa membayangkan, kalau kondisi ini terus berlangsung setiap tahun tanpa ada perhatian khusus dan komperhensif, bukan tidak mungkin desa sebagai lumbung SDM dan SDA akan semakin tidak berdaya. Jika ditantang oleh pernyataan tersebut, tentu kita akan menjawab tidak rela desa telantar karena ditinggal oleh para penghuninya.

Oleh karena itu, melalui momentum idul Fitri 1430 H (sebagai cikal bakal adanya mudik dan balik) yang baru saja kita lalui mengingatkan kita untuk kembali bagaimana memaksimalkan pembangunan desa, agar daerah ini tidak terus menerus ditinggalkan generasi mudanya. Generasi yang menjadi pemegang estapet pembangunan bangsa melalui kiprahnya di desa.

Berbicara tentang pembangunan, maka pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengeksekusinya, namun tentu di dalamnya terdapat juga tanggung jawab dari semua komponen bangsa atau masyarakat. Masa lalu sentralisasi pembangunan era Orde Baru, harus mampu dijadikan motivasi untuk melakukan pembangunan secara menyeluruh, baik lintas sektoral, lintas wilayah maupun lintas bidang.

Dalam data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tahun 2009 menyebutkan, terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju,yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori sangat maju. Sementara desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori sangat tertinggal.

Semantara itu, fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa, desa belum dapat dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa belum ada sarana kesehatan sejumlah 20.435 desa, desa belum ada pasar permamen sebanyak 29.421 desa, besa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa. Sementara rata-rata keluarga miskin di desar tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Besarnya disparitas antara desa maju dan desa tertinggal sebagaimana yang tersebut di atas, banyak disebabkan karena masing-masing sektor (departemen teknis) berjalan dengan sendiri-sendiri, pembangunan yang berjalan belum sepenuhnya partisipatoris, pembangunan desa yang belum terintegrasi serta kebijakan-kebijakan pembangunan desa belum optimal menekankan pro poor, pro job dan pro growth.

Sementara itu masih adanya kebijakan pembangunan yang belum mampu mengambarkan karakteristik dari desa tersebut. Artinya, keberagaman desa diasumsikan memiliki karakteristik yang sama. Kondisi demikian, menjadi amat wajar jika ketimpangan antara desa maju dan desa tertinggal menjadi semakin besar.

Fenomena tersebut, mestinya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menekankan percepatan pembangunan desa dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh). Konsep yang harus dikembangkan bisa menerapkan desa model, yakni konsep pembangunan desa dengan penetapan desa sebagai lokus dan fokus dari berbagai bentuk intervensi dari pemerintah.

Oleh karena itu, sebagai penawarnya tidak ada lain kecuali harus ada sinergi dari semua stakeholder (pemerintah pusat, porovinsi, kabupaten/kota melalui departemen teknis atau dinas terkait, swasta dan masyarakat sendiri) diharapkan mampu mendorong percepatan pembangunan bangsa, dimana desa menjadi komponen penting dari bangsa tersebut.

Selain itu, secara praksis setop urbanisasi atau paling tidak diminimalisir dengan kompensasi desa diberdayakan dengan baik. Masyarakat harus menjadi subjek pemberdayaan, tidak hanya menjadi objek "eksploitasi" desa.

Dari hal tersebut diharapkan dapat mengurangi indeks kemisikanan desa, meningkatkan pendapatan masyarakat yang ditandai dengan terciptanya lapangan kerja dan kesempatan kerja, berkembangnya perekonomian lokal masyarakat, kuatnya jaringan informasi dan ekonomi serta peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat. Dan khusus untuk desa yang terkena bencana atau konflik, maka harus ada percepatan rehabilitasi desa pasca konflik dan bencana alam dapat tercapai dalam waktu dekat.

Ingat, membangun bangsa tidak bisa meninggalkan dari pembangunan desa. (*)

Sumber http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/29704/setop-urbanisasi

Fenomena Urbanisasi Pasca Lebaran; Transfer Orang Miskin Ke Kota
oleh : Dedy Yanwar Elvani

Pekerjaan besar tengah menanti pemerintah kota seusai perayaan lebaran. Pemerintah kota begitu dipusingkan dengan kehadiran “orang-orang asing” yang datang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib hidup di kota. Urbanisasi memang bukanlah termasuk tindakan yang melanggar aturan. Merujuk bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang memang membebaskan persebaran warganya, karena itu adalah hak setiap warga untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya (pasal 27 ayat 2). Akan tetapi yang jadi masalah adalah jika urbanisasi ini dihadapkan pada sebuah realitas, yakni menumpuknya konsentrasi migrasi pada beberapa kota tertentu. Akibatnya nampak terlihat sekarang ini (paling parah di DKI Jakarta), kondisi kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah penduduknya (oversize people). Apalagi jika frekuensi urbanisasi kian tahun semakin bertambah. Tengoklah Provinsi DKI Jakarta yang kedatangan pendatang baru rata-rata 200.000-250.00 ribu jiwa pertahunnya, padahal kebutuhan 8,7 juta warganya (13,2 juta versi PBB) belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Urbanisasi pada tingkatan tertentu dari sisi ekonomi justru akan menguntungkan kota tujuan urbanisasi. Dalam teori umum semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Jika begitu mengapa urbanisasi saat ini justru menjadi momok bagi pemerintah kota? Jawabannya adalah karena urbanisasi yang terjadi sekarang ini sudah pada tingkatan tidak terkontrol, akibatnya urbanisasi tidak lagi menjadi faktor kemajuan kota. Bukti empiris menunjukkan hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005). Alih-alih kemajuan yang didapatkan dari urbanisasi, justru urbanisasi malah jadi biang kerok berbagai permasalahan pelik kota. Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung dari urbanisasi. Jadi tidaklah janggal jika pemerintah kota menjadi pihak yang paling getol menghadapi “ancaman urbanisasi”.

Dari pemantauan pemerintah ada dua arus besar menjadi pendorong urbanisasi, yang pertama adalah tahun kelulusan siswa/mahasiswa dari studinya. Arus pertama ini bagi pemerintah kota bukan ancaman serius, selain karena segi kuantitas tidak terlalu banyak, dilihat dari segi kualitas mayoritas adalah tenaga-tenaga terdidik yang potensial dan mempunyai prospek kerja (formal) cukup tinggi. Bahkan banyak yang memandang mereka akan membawa urbanisasi kearah positif untuk kemajuan kota. Arus yang kedua adalah di saat pasca lebaran. Arus inilah yang paling diantisipasi ekstra oleh pemerintah kota dan menjadi ancaman serius bagi mereka. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim, skill yang kurang mumpuni, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota. Kalaupun ada yang sukses mungkin bisa dihitung dalam hitungan jari dibanding ratusan migran lainya. Itupun karena mereka mempunyai soft skill yang menunjang kerjanya seperti keuleten, pekerja yang keras, humanis dalam membangun jaringan, dan yang paling penting adalah kejujuran untuk membangun trustment.

Magnet Perantau Di Masa Mudik
Sudah jadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap perayaan lebaran menyempatkan diri untuk mudik kembali ke daerah asalnya. Sekedar berkangen mesra dengan sanak saudara dan kerabatnya di desa, orang – orang perantauan ini rela berkorban banyak asalkan bisa pulang kekampung halaman. Tidak ada yang salah dengan ini, yang disesalkan hanya action mereka ketika di kampungnya menampilkan diri secara berlebihan. Walaupun berkesan seperti agak “dipaksakan” mereka sering mencitrakan diri sebagai orang yang sudah mapan dan telah sukses selama merantau di kota. Ditambah lagi dengan penampilan gaya hidup ala kota, tak ayal banyak kerabat menjadi terpikat untuk ikut merasakan nikmat hidup di kota. Di benak mereka yang terbayang hanyalah sebuah kesuksesan yang menanti di kota.

Pasca lebaran adalah moment yang paling sering dimanfaatkan para calon perantau untuk ikut mencicipi hidup di kota. Ketertarikan mereka untuk merantau ke kota tidak lepas dari pengaruh perantau lama yang kebetulan sedang mudik ke daerah asalnya. Memang dalam pengaruhnya tidak selamanya dilakukan secara langsung dengan cara mengajak. Tanpa ada ajakan secara persuasifpun, mereka seringkali menampilkan informasi “palsu” tentang kondisi dirinya dan kota rantauannya. Dengan informasi “palsu” itupun sudah cukup bagi calon perantau untuk membulatkan tekadnya melakukan imigrasi. Belajar dari sang pendahulunya dengan motivasi berlapis dan cita-cita selangit para calon perantau siap untuk mengadu nasib di kota. Mengandalkan kenekatan tanpa ada modal (baca: bondo) yang cukup, panggilan “Bonek” (Bondo Nekat) kini menjadi panggilan akrab bagi calon perantau.

Mencermati Urbanisasi Di Indonesia
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa urbanisasi begitu tinggi hingga tak terkontrol. Salah satunya adalah dari peninggalan kebijakan jaman orde baru yang masih menyisakan masalah hingga dewasa ini. Paradigma sentralisasi pemerintahan dan pembangunan ekonomi terpusat adalah hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi dengan konsentrasi migrasi yang tidak sehat. Daerah kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pemerintah pusat juga tidak mau memecah kosentrasi pembangunan ke daerah untuk pemerataan pembangunan. Yang terjadi sekarang ini adalah jomplangnya pembangunan satu daerah dengan daerah yang lain.

Selain itu jika kita flashback awal pemerintah orde baru saat itu terlalu berfokus pada pembangunan industri subtitusi import (manufactur) dengan mengabaikan sektor yang menjadi penghidupan mayoritas penduduk yakni sektor pertanian. Kalaupun sektor pertanian sempat dianggap maju dengan swasemba berasnya, tapi kemajuannya hanya berlangsung singkat, karena orientasi pembangunan pertanian saat itu berdasarkan paradigma industri subtitusi import (mencukupi pangan nasional), bukan pada pengembangan sumber daya pertanian dan keunggulan produk pertanian. Sektor pertanian sangat identik dengan kehidupan ekonomi desa. Jika sektor pertanian tidak berkembang maka ekonomi desa juga terkena dampak buruknya. Sektor pertanian yang tidak menjanjikan lagi dan lapangan perkejaan yang minim di desa, ditambah lagi rata-rata pendidikan yang rendah menjadi faktor pendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi.

Orde baru memang telah jatuh selama satu dekade terkahir, tapi sisa kebijakannya masih terasa sampai saat ini. Mindset masyarakat desa tentang urbanisasi sebagai peningkatan taraf hidup masih belum banyak berubah. Orde reformasi dengan otonomi daerahnya juga tidak mampu menjawab banyak untuk memajukan ekonomi desa, terbukti dengan masih tingginya urbanisasi. Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).

Mencari Solusi Terbaik
Dalam mencari solusi permasalahan urbanisasi dapat dibagi menjadi dua jalan penyelesaian, yakni secara struktural sebagai prioritas utama dan secara kultural sebagai sarana pendukung/pelengkap. Cara struktural seperti yang diajukan oleh Weller and Bouvier (1981), menyebutkan ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah kota di indonesia dalam beberapa tahun terakhir, biasa disebut dengan operasi yustisi. Kebijakan ini dipandang terutama dari kalangan LSM terlalu otoriter dan berpotensi melanggar HAM. Pandangan ini ditentang oleh Direktur Eksekutif KP3I (Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia) Tom Pasaribu dan menganggap operasi yustisi tidak melanggar HAM. Alasannya sangat logis karena memang sasaranya adalah orang-orang yang tidak jelas identitasnya dan berkeliaran di kota, jadi tidak ada pelanggaran HAM didalamnya. Kebijakan jangka pendek ini ternyata cukup efektif untuk sedikit menekan arus urbanisasi.

Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan. Setelah itu jangan sampai ada kesenjangan penghasilan yang tinggi antara desa dan kota. Bayangkan saja, dengan menjadi Pak Ogah (polisi cepek), pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir atau pengumpul barang bekas di Ibukota Jakarta atau di Surabaya, kaum migran memperoleh pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan pendapatan itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.

Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Solusi kedua dan ketiga diatas termasuk penyelesaian dalam jangka panjang.

Cara penyelesaian kedua adalah dengan jalan kultural. Cara penyelesaian ini penting untuk didorong untuk mendukung sistem yang ada (supporting system). Intinya adalah bagaimana membangun budaya yang kondusif untuk mengatasi problematika masyrakat miskin desa. Beberapa hal salah satunya dengan menggali lagi local wisdom yang dimiliki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Lokal wisdom dikebanyakan desa adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dari sini akan melahirkkan budaya gotong royong termasuk juga dalam gotong royong dalam perekonomian. Ilustrasi simpel ketika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi atau kesulitan apapun, dengan rasa persaudaraan warga lain tidak akan sungkan untuk menolong warga yang mengalami kesulitan. Maka jika ini menjadi budaya yang masif, tentu permasalahan kemiskinan desa dapat ditekan. Yang kedua adalah membangun budaya yang respect terhadap kebijakan positif pemerintah. Dengan cara mensosialisasikan dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi kini ruang aspirasi desa sudah dibuka seluas-luasnya dalam era otonomi daerah. Dalam penyusunan anggaran contohnya pemerintah berusaha turun kedesa dan kecamatan untuk mendengarkan aspirasi secara langsung. Harusnya ini dapat dimanfaatkan masyarakat desa untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di desanya.

Menjalankan berbagai solusi diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak dukungan untuk menjalankannya, terutama yang paling ditunggu adalah kebijaksanaan pemerintah. Apakah cukup dengan kebijakan menutup lubang atau lebih hebat lagi setelah menutup lubang lalu dilapisi dengan beton agar tidak berlubang lagi? Operasi yustisi dengan orientasi jangka pendek haruslah di dibarengi dengan kebijakan jangka panjang, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membangun kesejahteraan di desa-desa yang masih dilanda kemiskinan. Didukung dengan budaya masyarakat bergotong royong membangun perekonomian bersama, mungkin urbanisasi tidak akan menjadi ancaman bagi negara ini.

September 29, 2009
KAMMI Komisariat Universitas Gadjah Mada
Kategori: Artikel Kader KAMMI UGM

Sumber : http://kammikomsatugm.wordpress.com/2009/09/29/fenomena-urbanisasi-pasca-lebaran-transfer-orang-miskin-ke-kota/


URBANISASI, MASALAH BAGI PENDUDUK KOTA

Pengertian Urbanisasi :
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.
Faktor Penarik dan Pendorong Terjadinya Urbanisasi :
A. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi
1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah
2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
3. Banyak lapangan pekerjaan di kota
4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng
5. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas

B. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi
1. Lahan pertanian yang semakin sempit
2. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
3. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
4. Diusir dari desa asal
5. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Tujuan Urbanisasi :

Tujuan utamanya adalah untuk menetap di kota . mereka berharap akan memperbaiki hidup mereka jika mereka menetap di kota. Impian untuk menjadi orang sukses juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan urbanisasi, karena perkotaanlah yang memberikan peluang cukup besar untuk mewujudkan impiannya itu.
Kota –kota besar merupakan kota tujuan arus urbanisasi, hal ini bisa kita pahami karena kota merupakan pusat pemerintahan, pusat industri, pusat perdagangan baik barang maupun jasa.

Sasaran Urbanisasi :

Telah disebutkan di atas bahwa yang menjadi sasaran para urban berpindah tempat adalah daerah perkotaan. Namun bukan hanya perkotaan saja, melainkan daerah sengan sejuta peluang atau kesempatan dalam bidang usaha yang menjadi tujuan para urban. Namun di Indonesia ini sasaran atau tempat tujuan para urban ruang lingkupnya amatlah sempit.

Bisa dipastikan para penduduk yang ada di desa pasti ingin mendiami daerah ibukota dan sekitarnya yang kaya akan peluang usaha. Daerah ibukota merupakan pusat perekonomian di Indonesia, karena hanya di ibukotalah pembangunan dan pemerintahan dipusatkan, selebihnya di kota-kota besar lain mungkin hanya pusat perindustrian seperti Surabaya, pusat pariwisata seperti Bali, dan pusat ekspor impor seperti Batam.

Kesimpulan :
Kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhan uraian di atas, antara lain :
1. Urbanisasi memiliki dampak positif maupun dampak negatif terhadap perkembangan suatu daerah.
2. Sebagian besar alasan orang berurbanisasi adalah karena faktor ekonomi dan ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik jika tinggal di kota.
3. Para urbanis yang mau bertahan hidup di kota harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan. Karena hidup di desa dan di kota sangat jauh berbeda.
4. Penanganan / pemecahan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi harus selalu diusahakan oleh pemerintah kota setempat, dan tentunya harus ada dukungan dari pemerintah daerah di sekitar kota tersebut.
5. Pemerintah pun harus menyediakan lapangan pekerjaan agar tak semua orang berurbanisasi ke kota dan tidak bermimpi untuk mendapatkan pekerjaan di kota yang penuh dengan persaingan.

Referensi :
Wikipedia Indonesia - Urbanisasi
Dicky Satria - Urbanisasi Pasca Lebaran
nurbintogarph.com - Urbanisasi
http://rylzone.blogspot.com/2010/10/urbanisasi-masalah-bagi-penduduk-kota.html


MASYARAKAT DESA DAN MASYARAKAT KOTA

A. Pengertian Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat - atau tidak dibuat - oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

B. Hubungan Desa dan Kota
Dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti beras, sayur mayor, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan, proyek pembangunan dan lain-lain. Sebaliknya, kota juga menghasilkan barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian, alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk memeliahara kesehatan dan alat transportasi.

C. Definisi Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.

D. Syarat-syarat supaya dapat disebut sebagai masyarakat adalah:
1. Harus ada sekelompok manusia
2. Telah tinggal cukup lama disuatu daerah
3. Adanya aturan-aturan yang mengatur untuk menuju kepentingan dan tujuan bersama

E. Sedangkan menurut cara terbentunya suatu masyarakat. Terbagi menjadi dua yaitu :
1. Masyarakat paksaan. Contohnya masyarakat tahanan
2. Masyarakat merdeka yang terbagi juga kedalam dua :
• Masyarakat Nature, masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti gerombolan, suku, yang bertalian dengan hubungan darah atau keturunan
• Masyarakat kultur, masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau kepercayaan, misalnya koperasi, kongsi perekonomian, gereja dan sebagainya



F. Masyarakat Kota
Kehidupan masyarakat kota, cenderung mengarah individual dan kurang mengenal antara warga yang satu dengan lainnya meskipun tempat tinggalnya berdekatan. Rasa persatuan tolong menolong dan gotong royong mulai pudar dan kepedulian social cenderung berkurang.
Definisi dari masyarakat perkotaan lebih menekankan kepada sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupan masyarakat perkotaan yang jika dibandingkan dengan masyarakat pedesaan jauh berbeda. Perbedaan itu meliputi jumlah dan kepadatan penduduk, lingkungan hidup, mata pencaharian, corak kehidupan sosial, stratifikasi sosial, mobilitas sosial, pola interaksi sosial, solidaritas sosial, kedudukan dalam hierarki administrasi nasional.
Ada beberapa ciri masyarakat perkotaan :
a) Kehidupan keagamaan berkurang daripada masyarakat pedesaan.
b) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.
c) Pembagiaan kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d) Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.
e) Jalan pikirannya rasional dan terjadi perubahan-perubahan sosial secara nyata.


G. Masyarakat Desa
Pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Ada beberapa ciri masyarakat pedesaan :
a) Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
b) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.
c) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.
d) Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya

H. Perbedaan antara desa dan kota
Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:


Sumber :
www.google.com - masyarakat kota dan desa
http://rylzone.blogspot.com/2010/10/masyarakat-desa-dan-masyarakat-kota.html


KOTA BATAM
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kota Batam adalah kota terbesar di provinsi Kepulauan Riau dan merupakan kota terbesar ke tiga populasinya di Sumatra setelah Medan dan Palembang, dengan jumlah penduduk mencapai 949.775 jiwa. Metropolitan Batam terdiri dari tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang. Batam merupakan sebuah kota dengan letak sangat strategis. Selain berada di jalur pelayaran internasional, kota ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam tempo 40 tahun penduduk Batam bertumbuh hingga 170 kali lipat.

Sejarah
Pulau Batam dihuni pertama kali oleh orang melayu dengan sebutan orang selat sejak tahun 231 Masehi. Pulau yang pernah menjadi medan perjuangan Laksamana Hang Nadim dalam melawan penjajah ini digunakan oleh pemerintah pada dekade 1960-an sebagai basis logistik minyak bumi di Pulau Sambu.

Pada dekade 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam.

Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983, wilayah kecamatan Batam yang merupakan bagian dari kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam.

Di era reformasi pada akhir dekade tahun 1990-an, dengan Undang-Undang nomor 53 tahun 1999, maka Kotamadya administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yaitu Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikutsertakan Badan Otorita Batam.

Geografis
Kota yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau ini, memiliki luas wilayah daratan seluas 715 km² atau sekitar 115% dari wilayah Singapura, sedangkan luas wilayah keseluruhan mencapai 1.570,35 km². Kota Batam beriklim tropis dengan suhu rata-rata 26 sampai 34 derajat celsius. Kota ini memiliki dataran yang berbukit dan berlembah. Tanahnya berupa tanah merah yang kurang subur.

Batas-batas Kota Batam:
Utara
Selat Singapura dan Malaysia

Selatan
Kabupaten Lingga

Barat
Kabupaten Karimun

Timur
Pulau Bintan dan Tanjung Pinang


Penduduk
Suku Bangsa
Masyarakat Kota Batam merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Suku yang dominan antara lain Melayu, Minangkabau, Batak, Jawa, dan Tionghoa. Dengan berpayungkan Budaya Melayu dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Batam menjadi kondusif dalam menggerakan kegiatan ekonomi, sosial politik serta budaya dalam masyarakat. Hingga Agustus 2010, Batam telah berpenduduk 949.775 jiwa dan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Dalam kurun waktu tahun 2001 hingga tahun 2010 memiliki angka pertumbuhan penduduk rata-rata hampir 10 persen pertahun.

Agama
Islam adalah agama mayoritas di Kota Batam. Mesjid Raya Batam yang terletak di tengah kota, berdekatan dengan alun-alun, kantor walikota dan kantor DPRD menjadi simbol masyarakat Batam yang agamis. Agama Kristen dan Katholik juga banyak dianut oleh masyarakat Batam, terutama yang berasal dari suku Batak dan Flores. Agama Buddha kebanyakan dianut oleh warga Tionghoa. Batam memiliki Vihara yang konon terbesar di Asia Tenggara, yaitu Vihara Duta Maitreya.

Bahasa
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti Bahasa Minang, Bahasa Batak, dan Bahasa Jawa. Hal demikian terjadi karena Batam adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu.

Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kota Batam yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional menjadikan wilayah ini andalan bagi pemacu pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun bagi Provinsi Kepulauan Riau. Beragam sektor penggerak ekonomi meliputi sektor komunikasi, sektor listrik, air dan gas, sektor perbankan, sektor industri dan alih kapal, sektor perdagangan dan jasa merupakan nadi perekonomian kota batam yang tidak hanya merupakan konsumsi masyarakat Batam dan Indonesia tetapi juga merupakan komoditi ekspor untuk negara lain. Keberadaan kegiatan perekonomian di Kota ini juga dalam rangka meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah Kota Batam sebagai pelaksana pembangunan Kota Batam bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat daerah Kota Batam serta keikutsertaan Badan Otorita Batam dalam meneruskan pembangunan, memiliki komitmen dalam memajukan pertumbuhan investasi dan ekonomi Kota Batam, hal ini dibuktikan dengan adanya nota kesepahaman ketiga instansi tersebut, yang kemudian diharapkan terciptanya pembangunan Kota Batam yang berkesinambungan. Batam, bersama dengan Bintan dan Karimun kini telah berstatus sebagai Kawasan Ekonomi Khusus(KEK). Dengan ini diharapkan dapat meningkatkan investasi di Batam yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Komunikasi, Media & Hiburan
Perkembangan Telekomunikasi di Batam terbilang cukup pesat. Berikut ini adalah beberapa media yang berada di Batam.
1. Stasiun Televisi:
o Batam TV - 53 UHFwww.batamtv.com
o Semenanjung Televisi - 39 UHF
o Urban TV - 61 UHF
o Barelang TV - TV Berlangganan
o Hang Tuah TV - TV Komunitas (Sekolah Hang Tuah)
2. Surat Kabar:
o Batam Pos
o Tribun Batam
o Sijori Mandiri
o Posmetro Batam
o Tanjungpinang Pos
3. Stasiun Radio:
o Radio Republik Indonesia Batam 105.1 FM
o Radio Aljabar 91.7 FM
o Radio Kei 102.3 FM
o Radio Be 107 FM
o Radio Batam FM 100.7
o Radio Zoo 101.6 FM
o Radio DISCOVERY Minang 87.6 FM
o Radio Sheila 104.3 FM
o Radio BIGS 104.7 FM
o Radio Alfa Omega 107.7 FM
o Radio Sing 105.5 FM
o Radio Era Baru 106.5 FM
o Radio Salam 102.7 FM
o Radio Hang 106 FM
o Radio Kita 107.9 FM
o Radio Gress 88.0 FM
o Radio M3 103.2 FM
o Radio RRI Studio Prod. Batam 90.9 FM
o Radio G-Fan 105.1 FM
4. Artist & Entertainer Indonesia asal Batam:
o Oki Setiana Dewi - Ketika Cinta Bertasbih Cast (Aktris & Model)
o Serly Ernawati - Finalist Puteri Indonesia 2009 (Model)
o Lucky Rachman - Finalist Model Idol Indonesia 2009 (Model)
o Gabriel - Idola Cilik RCTI (Penyanyi)

Pemerintahan
Walikota
Dalam mewujudkan demokratisasi dan kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan di kota Batam, pada bulan Januari 2006 yang lalu, diselenggarakan pemilihan walikota dan wakil walikota Batam. Melalui proses yang tertib dan aman, maka terpilih dan ditetapkannya Drs. H. Ahmad Dahlan dan Ir. Ria Saptarika sebagai Walikota dan Wakil Walikota Batam periode 2006-2011.

Pembagian Wilayah
Kota Batam terdiri dari 12 (dua belas) kecamatan, yaitu:
• Kecamatan Batam Kota
• Kecamatan Nongsa
• Kecamatan Bengkong
• Kecamatan Batu Ampar
• Kecamatan Sekupang
• Kecamatan Belakang Padang
• Kecamatan Bulang
• Kecamatan Sagulung
• Kecamatan Galang
• Kecamatan Lubuk Baja
• Kecamatan Sungai Beduk
• Kecamatan Batu Aji

Pendidikan
Kota Batam memiliki banyak sekolah negeri dan swasta mulai dari tingkat SD hingga SMA. Perguruan Tinggi Negeri di Batam adalah Universitas Maritim Raja Ali Haji(UMRAH) atau lebih di kenal dengan nama Politeknik Batam. Selain itu terdapat banyak perguruan tinggi swasta seperti Universitas Internasional Batam(UIB), Universitas Putera Batam (UPB), Universitas Batam(Uniba), STMIK Putera Batam, STIE Ibnu Sina, STT Bentara Persada, Universitas Riau Kepulauan (Unrika) dan lain-lain.

Transportasi
Akses menuju Kota Batam dapat ditempuh melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara, Batam dapat dicapai melalui Bandara Internasional Hang Nadim yang melayani rute penerbangan langsung dari banyak kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Padang dan Palembang.
Batam juga memiliki lima pelabuhan feri internasional yang menghubungkannya dengan Singapura dan Malaysia: Batam Centre, Batu Ampar (Harbour Bay), Nongsa, Waterfront City dan Sekupang.

Pariwisata
Pada tahun 2010 Kota Batam menggelar tahun kunjungan wisata bertajuk Visit Batam 2010 - Experience it. Didukung oleh fasilitas hotel dan resort berstandar internasional serta aneka kegiatan wisata yang disusun dalam Kalender Kegiatan Kepariwisataan Kota Batan, diharapkan dapat menjamin kenyamanan dan kepuasan wisatawan domestik dan mancanegara saat berkunjung ke Kota Batam.

Tempat-tempat wisata unggulan di Batam adalah:
• Jembatan Barelang (Ikon Kota Batam)
• Bekas kamp pengungsi Vietnam di pulau Galang
• Pantai Nongsa
• Pantai Melur Pulau Galang
• Pantai Sekilak
• KTM Resort (terdapat patung Dewi Kwan-Im raksasa)
• Berbagai resort berstandar internasional yang menyediakan fasilitas hotel dan lapangan golf

Tempat-tempat wisata Belanja antara lain:
• Komplek Nagoya
• Komplek Jodoh
• Mega Mall
• Nagoya Hill Mall
• Batam City Square(BCS) Mall
• Lucky Plaza (Pusat penjualan HP)
• Mymart (Pusat penjualan Komputer)
• Kepri Mall
• Top 100 Tembesi
Lihat pula
• Pelabuhan Batam Centre
• Pelabuhan Telaga Punggur
• Pelabuhan Sekupang
• Pulau Abang
Pranala luar
• Situs Pemerintah Kota Batam
• Situs Suratkabar Batam dan e-paper
• Situs Suratkabar Batam
• Situs Suratkabar Batam
• Situs Suratkabar Batam
• Situs Berita Online Batam
• Situs Berita Online Batam
• Situs Pulau Batam
• Situs Berita Pemerintah Kota Batam
• Situs Badan Otorita Batam
• Situs Lowongan Kerja Batam
• Situs Direktori Komersial dan Industrial Pulau Batam
• Situs Kampong Online Batam
• Situs Informasi Bisnis dan Event di Batam
• ekonomi batam, internet business

Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batam


POTRET TENAGA KERJA KOTA BATAM
Written by Ade P. Nasution
Saturday, 02 October 2010 22:39

Ditengah ramainya argumen-argumen kuantitatif dalam konteks Free Trade Zone, yang kebanyakan berkisar masalah pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, penyerapan tenaga kerja, PDRB dan indikator-indikator statistik lainnya, ada baiknya kita sedikit memberi perhatian terhadap masalah kualitatif yang selama ini belum pernah tersentuh yaitu mengenai permasalahan tenaga kerja di Kota Batam.Meskipun Kota Batam diposisikan sebagai kawasan Industri dan Investasi dengan keunggulan bersaing dalam hal letak strategis dan tenaga kerja murah, namun ada baiknya permasalahan kualitas tenaga kerja mulai dipikirkan dari sekarang.

Jika ini dibiarkan, ini akan menjadi suatu paradoks dalam era Free Trade Zone. Disatu sisi tingkat pertumbuhan ekonomi, industri dan investasi meningkat pesat namun disisi lain tenaga kerja lokal terpuruk dan tidak mampu bersaing secara kualitas dengan pekerja asing. Namun secara psikologis, kebijakan untuk meningkatkan kualitas pekerja akan menghadapi suatu tembok besar. Dan tembok itu bernama ancaman hengkangnya investor asing. Karena baik secara langsung ataupun tidak langsung, upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal pasti terkait dengan cost yag dikeluarkan oleh perusahaan investor

Kondisi aktual yang terjadi di Batam saat ini adalah, tenaga kerja lokal yang ada dirasakan belum mampu mendukung pengembangan kota Batam sebagai daerah industri. Ini diindikasikan dari masih begitu banyaknya permasalahan-permasalahan yang menyangkut SDM atau masalah ketenagakerjaan.

Permasalahan tenaga kerja di Batam semakin lama semakin kompleks, yang bukan sebatas permasalahan keterbatasan tenaga kerja secara kualitas, tapi juga secara kuantitas. Secara umum, kualitas tenaga kerja Batam dianggap masih belum memenuhi standar, ini terlihat dari masih banyaknya tenaga kerja asing (ekspatriat) yang menempati pos-pos kunci di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di berbagai kawasan industri yang ada.

A. Tenaga Kerja Berdasarkan Jabatan, Pendidikan Dan Jenis Kelamin
Jumlah tenaga kerja baik lokal maupun ekspatriat yang bekerja di Batam menunjukkan perbandingan sebesar 1: 59 yang artinya setiap 1 orang tenaga ekspatriat dalam satu perusahaan terdapat 59 orang tenaga kerja lokal. Sedang untuk pendidikan tenaga kerja yang telah bekerja pada berbagai perusahaan tersebut sebagian besar yaitu 76,1% berpendidikan SLTA. Hal ini akan sangat mendukung terhadap perkembangan Batam sebagai daerah Industri karena diharapkan dengan pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima dan mengembangkan transfer teknologi yang baru. Hanya untuk jabatan-jabatan utama masih terlihat di dominasi oleh tenaga kerja ekspatriat, dibuktikan bahwa 65 % posisi Top Manager diisi oleh ekspatriat dan 35 % posisi Mid Manager diisi oleh tenaga kerja lokal sebaliknya untuk tenaga pelaksana lebih didominasi oleh tenaga kerja lokal. Untuk kategori gender secara umum tenaga kerja di Batam dipenuhi oleh tenaga kerja wanita 61,8 % dan laki-laki 38,2 % (untuk perusahaan Elektronik). Namun demikian untuk kelompok-kelompok perusahaan tertentu hal ini cukup mencolok perbedaannya, hal ini sangat bisa dimaklumi karena ada kelompok perusahaan/ pekerjaan tertentu yang lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh tenaga kerja laki-laki dan ada kelompok perusahaan / pekerjaan tertentu yang lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh tenaga kerja perempuan.

B. Kemampuan Managerial Tenaga Kerja Lokal Dan Ekspatriat
Dari penelitian terhadap sampel yang ada dapat dikatakan bahwa pada perusahaan-perusahaan elektronik, tenaga kerja lokal mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,1 %, kemampuan perencanaan 3,9 %, kemampuan analisis 3,8 %, dan kemampuan operasioanal 13,7 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0,2 %, kemampuan perencanaan 0,1 %, kemampuan analisis 0,1 %, dan kemampuan operasional 74,1 %.

Sementara itu tenaga kerja ekspatriat mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 20,6 %, kemampuan perencanaan 27,9 %, kemampuan analisis 16,2%, dan kemampuan operasioanal 23,5 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 2,9 %, kemampuan perencanaan 2,9 %, kemampuan analisis 2,9 %, dan kemampuan operasioanal 2,9 %.

Pada perusahaan-perusahaan Perkapalan yang diperoleh untuk kemampuan managerial adalah sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,6 %, kemampuan perencanaan 4,20 %, kemampuan analisis 3,9 %, dan kemampuan operasional 86,1 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0,2 %, kemampuan perencanaan 0,2 % , kemampuan analisis 0,2 %, dan kemampuan operasioanal 0,5%.

Sementara itu tenaga kerja ekspatriat mempunyai kemampuan managerial sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 21,2 %, kemampuan perencanaan 21,2 %, kemampuan analisis 15,2 %, dan kemampuan operasioanal 42,4 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 0 %, kemampuan perencanaan 0%, kemampuan analisis 0 %, dan kemampuan operasioanal 0 %.

Pada perusahaan-perusahaan Jasa, data kemampuan managerial yang diperoleh adalah sebagai berikut : tenaga kerja laki-laki mempunyai kemampuan kepemimpinan 16,1 %, kemampuan perencanaan 10,9 %, kemampuan analisis 8,5 %, dan kemampuan operasioanal 37,4 %. Sedangkan tenaga kerja wanita mempunyai kemampuan kepemimpinan 4,5 %, kemampuan perencanaan 2,1 %, kemampuan analisis 5,2 %, dan kemampuan operasional 15,2 %.

C. Keragaman Etnis Tenaga Kerja Di Batam
Etnis Tenaga kerja lokal di Batam dibedakan 4 (empat ) kelompok besar yaitu dari etnis Jawa dan Sunda, Etnis Melayu (masyarakat tempatan), Etnis Sumatera dalam hal ini diwakili oleh Batak dan Minang serta etnis lainnya selain ketiga kelompok diatas, yang termasuk dalam kelompok keempat ini adalah Etnis di Sumatera selain Batak/Minang, etnis di Kalimantan, Etnis Bali, Sunda, Lombok, Flores, Maluku, Sulawesi, Irian dan lain-lainnya.

Sedangkan untuk tenaga ekspatriat dibedakan atas 5 (lima) kelompok yaitu dari warga negara Singapura, Jepang, Amerika/ Eropa, Malaysia/ Philipina serta kelompok selain keempat kelompok tersebut.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk tenaga kerja lokal didominasi oleh tenaga kerja dari etnis Jawa sebesar 51,65 %, sedang etnis Sumatera sebesar 30,75 %, etnis Melayu (masyarakat tempatan) sebesar 6,47 % dan etnis lainnya sebesar 15,40 %. Hal ini berlaku umum pada perusahaan-perusahaan tempat penelitian.

Tenaga ekspatriat paling banyak berasal dari Jepang sebesar 64.15 %, Malaysia/ Philipina sebesar 13.1 %, Amerika/Eropa sebesar 4.5 % dan Singapura 13.21 %, lainnya 3.26%. Hal inipun juga terjadi baik pada Perusahaan elektronik, perkapalan maupun jasa.

Untuk Tenaga kerja lokal secara umum sebagian besar etnis Jawa menempati posisi/ jabatan teknisi dan operator sebesar 52.76. % , sebagian besar etnis Minang/ Batak menempati posisi/ jabatan operator sebesar 28.5 %, sebagian besar etnis Melayu menempati posisi/ jabatan operator sebesar 4 % dan etnis lainnya menempati posisi/ jabatan operator sebesar 5.7 %.

D. Usia Tenaga Kerja.
Dari sejumlah tenaga kerja yang ada baik tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja ekspatriat, sebagian besar yaitu 78.7 % berumur kurang 25 tahun. Dari hasil studi ini bisa kita ketahui bahwa untuk level tertentu yaitu Top Manager, Mid Manager di dominasi tenaga kerja yang telah cukup matang usianya baik berasal dari tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja ekspatriat. Sedang untuk level Yunior manajer, Line supervisor , dan lainnya didominasi oleh tenaga kerja muda yaitu usia dari 25 sampai 40 tahun sebanyak 15.6 %.

Sebagai daerah yang ditetapkan sebagai kawasan industri yang sekaligus merupakan kawasan borderless, daya dukung sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan permintaan tenaga kerja memiliki potensi yang besar dalam hal jumlah (kuantitas). Hal ini tampak dari tingkat pertumbuhan penduduk yang pada akhir semester kedua tahun 2001 diprediksikan mencapai pertumbuhan lebih dari dua kali lipat dibanding semester pertama tahun yang sama.

Potensi yang besar dalam hal jumlah ternyata tidak diikuti dalam hal jenis (kualitas) sumber daya manusianya. Indikasi dari hal tersebut adalah adanya angka koefisien korelasi pertumbuhan penduduk yang besarnya hanya 15,44 % (0,1544), yang menunjukkan bahwa setiap pertambahan 100 orang penduduk baru, yang terserap dalam lapangan kerja hanya 15 orang saja.

Selain indikasi yang ditunjukkan diatas, tampak juga dari jenis lapangan kerja yang menyerap tenaga kerja ternyata 70 %-nya ada pada kesempatan kerja yang membutuhkan ketrampilan teknis serta lebih dari 83 % kesempatan kerja untuk tenaga kerja berlevel paling rendah (lowest managerial level), 16 % tenaga kerja berlevel menengah dan sisanya ( hanya 1 %) pada level atas (top).

Apa yang Harus dilakukan ?
Proses pemberdayaan tenaga kerja secara kualitatif baik keterampilan teknis, human relation dan keterampilan manajerial setidaknya harus melibatkan pemerintah (dalam hal ini Pemko Batam dan Otorita batam) dan Pihak Pengusaha/investor. Perlu diakui, bahwa ada sebagian perusahaan investor yang mempunyai program peningkatan kualitas tenaga kerja lokal melalui inhouse training dan program magang ke negara asal investor namun jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja lokal yang ada, dan pada kenyataannya sebagian besar perusahaan investor tidak mempunyai program peningkatan kualitas tenaga kerja. Dalam hal ini peran pemerintah sangat diperlukan.

Sumber : http://www.adenasution.com/index.php?option=com_content&view=article&id=70:potret-tenaga-kerja-kota-batam-&catid=1:tenaga-kerja&Itemid=56


'Melawan' Tingginya Angka Kelahiran dan Urbanisasi Di Batam
Rabu, 25 Pebruari 2009

BATAM CENTRE-Duet kepemimpinan Drs H Ahmad Dahlan sebagai Walikota Batam dan Ir H Ria Saptarika sebagai Wakil Walikota Batam, pada 1 Maret 2009, genap tiga tahun. Sementara itu hasil pendataan kependudukan Kota Batam pada Desember 2008, yang menyatakan jumlah penduduk Kota Batam sebanyak 908.110 jiwa menjadi tantangan yang besar bagi kesuksesan duet Ahmad Dahlan dan Ria Saptarika.

Kepemimpinan Dahlan-Ria yang didukung penuh jajaran Pemerintahan Kota (Pemko) Batam berupaya bahu-membahu menselaraskan tingginya angka urbanisasi dan kelahiran di Kota Batam dengan program-program pembangunan di berbagai bidang.

Program pembangunan itu diantaranya meliputi infrastruktur, ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, penyediaan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya, termasuk pemekaran wilayah kecamatan dan kelurahan demi untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan.

Sehubungan dengan beratnya tantangan yang dihadapi, maka di tahun ketiga kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan langsung masyarakat Batam tersebut, beberapa kebijakan umum yang menyangkut pelaksanaan tata kelola birokrasi pemerintahan yang baik, telah dirancang, dan diterapkan berdasarkan Visi Kota Batam, yakni "Batam Menuju Bandar Dunia yang Madani dan Menjadi Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Nasional".

Kepala Bagian Humas Kota Batam, Yusfa Hendri, Selasa (24/2) mengatakan visi kota yang begitu mulia, pada penjabarannya terkandung niat dan upaya untuk mengembangkan Kota Batam sebagai kota pusat kegiatan industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dan alih kapal yang mempunyai akses ke pasar global.

Cita-cita besar ini muaranya membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Batam, baik mereka yang bermukim di wilayah hinterland (pesisir) maupun kawasan mainland (perkotaan).

Adapun Misi Kota Batam dalam mewujudkan Batam sebagai Bandar Dunia Madani dan Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Nasional antara lain: Pertama; Mengembangkan Kota Batam sebagai Kota pusat kegiatan industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dan alih kapal yang mempunyai akses ke pasar global dalam suatu sistem tata ruang terpadu yang didukung oleh infrastruktur, sistem transportasi, sistem Teknologi Informasi (IT) dan penataan lingkungan kota yang bersih sehat, hijau dan nyaman.

Kedua; Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui fasilitasi pengembangan dan pembinaan usaha Mikro Kecil dan menengah (UMKM), koperasi dan investasi yang didukung oleh iklim / situasi usaha yang kondusif berlandaskan supremasi hukum.

Ketiga; Meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat hinterland dan masyarakat miskin melalui penyediaan fasilitas infrastruktur dasar, penataan dan pembinaan usaha sektor informal serta penanggulangan masalah sosial.

Keempat; Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, menguasai IPTEK dan bermuatan IMTAQ melalui peningkatan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyakat serta pembinaan kepemudaan dan olahraga

Kelima; Menggali, mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai seni budaya Melayu dan budaya daerah serta mengembangkan kehidupan kemasyarakatan yang harmonis, bertoleransi dan berbudi pekerti. Dan yang keenam; Mewujudkan pelaksanaan pemerintahan yang baik.

Melalui kerja keras dalam mewujudkan visi dan misi Kota Batam diharapkan pada gilirannya kepemimpinan Dahlan-Ria dapat meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan dan kesejahteraan warga Batam di tengah-tengah tinggi angka pertumbuhan penduduk di Kota Batam.

Selain itu, sesuai Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batam 2006-2011, di bidang pemerintahan, pasangan Walikota Batam dan Wakil Walikota Batam, pada masa kepemimpinan 5 (lima) tahun ke depan, sesuai karakteristik wilayah bertekad untuk mewujudkan pelaksanaan pemerintahan yang baik, dengan fokus rencana program untuk pelaksanaan bidang pemerintahan. (sm/ye/adv)

Sumber : http://sijorimandiri.net/fz/index.php?option=com_content&task=view&id=7766&Itemid=40


Menata Ruang, Menarik Investasi di Hinterland Kota Batam

Posted by H. Syamsul Bahrum, Ph.D

Kota Batam memiliki 339 buah pulau dan tujuh dari padanya berstatus FTZ di Pulau (Batam, Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, Galang dan Galang Baru) dan dua buah pulau (Belakang Padang dan Bulang Lintang) diberi fasilitas “CBT” sebagai Sentra Perdagangan Lintas Batas (Cross Border Trade). Tiga Kecamatan berakiran “Ang”-Belakang Padang, Bulang Lintang dan Galang dari 12 Kecamatan terletak di hinterland Batam. Pulau-pulau terdepan (border islands) ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan stratejik militer (Pulau Tolop, Takong dan Labun), aqua-tourisme (Pulau Lengkanak, Asam, Sue, Sekilak, Putri dan Air Manis), untuk wisata sejarah, ziarah, budaya, dan olahraga air (Belakang Padang, Kasu, Terong dan Bulang Lintang), pengembangan pangkalan militer dan sentra bisnis (Pulau Karang Nipah), agro-bisnis (Pulau Kepala Jeri dan Bulan), agro-wisata (Pulau Asah Besar, dan Lumba), kawasan perkuburan komersial dan wisata ziarah (Pulau Sambu Kecil) dll.

Gugusan pulau-pulau kecil potensial ini bagaikan “Carrebean of the East” yang apabila dikembangkan oleh Pemerintah bersama investor akan (1). Memperkuat struktur ruang bagi pertahanan dan keamanan wilayah perbatasan (geo-strategic defence), (2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir (coastal community) yang berdomisili di hampir 78 pedesaan nelayan (fishing villages) di sekitar wilayah perbatasan, (3). Meminimalisir disparitas pembangunan fisik dan sosial ekonomi antar kawasan (mainland dengan hinterland Batam), (4). Mempersempit segregasi sosial antara kaum pendatang dengan penduduk lokal, (5). Mengoptimalkan pengembangan ekonomi sekunder (off-farm jobs), diversifikasi usaha dan memperkecil pola-pola ekonomi rumah tangga yang non-produktif (subsistent economy) di sektor pertanian dn perikanan, (6). Menyeimbangkan sektor andalan produk unggulan antara bidang industri di mianland Batam, dengan bidang pertanian (perkebunan, perikanan, peternakan) di hinterland Batam.

Untuk mengembangkan kawasan tersebut, maka diperlukan kebijakan pro-bisnis dan sekaligus meningkatkan basis perekonomian tradisional rakyat setempat misalnya melalui (1). Penetapan tata ruang yang relevans dengan potensi Pulau-pulau yang idealnya diikuti oleh survei geologi, hidrologi, topografi, oceanografi, dan vegetasi sehingga arahan peruntukan (land-use) sesuai dengan potensi kawasan dan prospek investasi, (2). Memberi fasilitas fiskal (fasilitas investasi/perpajakan ) dan non-fiskal (stabilitas kawasan, infrastruktur, permudah pelayanan, dll.), (3). Penguasaan tanah oleh Pemerintah untuk kepentingan investasi agar dalam pengembangannya tidak dikuasai oleh mafia tanah atau spekulan yang berkedok investor, (4). Mempersiapkan masyarakat agar bisa masuk ke bursa tenaga kerja non-pertanian melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang teknis operasional kerja yang dibutuhkan, (5). Memperbesar pengalokasian anggaran Pemerintah bagi penyiapan infrastruktur dasar masyarakat hinterland (pendidikan, kesehatan, fasilitas pelatihan kerja, tenaga listrik pedesaan, sanitasi lingkungan dan air bersih, sarana perhubungan, dll. Dan (6). Menjaga pelestarian lingkungan kawasan (hutan bakau, vegetasi darat, kawasan pantai, daerah aliran sungai, dan sumber daya air) bagi kesinambungan pembangunan (sustainable development).
Untuk itu perlu ada pembalikan strategi (riversed development), yang jika di wilayah perkotaan/mainland Kota Batam dikenal dengan pola masyarakat di sekitar pembangunan (the people around the development), sedangkan di pedesaan/hinterland Kota Batam mengadopsi model pembangunan di sekitar masyarakat (the development around the people). Pola pertama berimplikasi pada tingginya migrasi penduduk atau akselerasi urbanisasi populasi (hyper-urbanization) sekitar 9 %/tahun, sehingga sampai Oktober 2008 Kota Batam berpenduduk 865.500 jiwa. Sebaliknya, kebijakan yang kedua berimplikasi ganda yakni memperbesar penduduk tetap tinggal di pulau-pulau, dan mempermudah akses bagi mobilitas horizontal (spatial movement) atau mencari bekerja di perkotaan Batam dan mobilitas vertikal (income generating) bagi penduduk lokal yang tetap tinggal dan bekerja di pulau-pulau.Suatu solusi efektif dari dua rencana aksi meminimalisir disparitas spasial, segregasi sosial dan segmentasi sektoral antara ”Batam Dalam/mainland” yang FTZ dengan ”Batam Luar/hinterland” yang non-FTZ. Suatu upaya mengintegrasikan konsep kesatuan pembangunan dalam kesatuan pemerintahan (One Developmental Zone in One Governmental Region). Insya Allah.
categories: Economics

Sumber : http://syamsulbahrum.web.id/?p=57


Batam, barelang, kepri, kepulauan riau, Indonesia, pariwisata, Singapore, Malaysia, TKI, TKW, migrasi, urbanisasi, migrant, migran, pekerja, muka kuning, worker, buruh